“Kalo sudah bulan April begini, kami ibu-ibu dan wali murid harus siap-siap keluar uang lebih. Tanggal 21 April itu Hari Kartini. Anak-anak TK, SD, juga PAUD harus pakai baju daerah ke sekolah. Dan itu memberatkan buat kami.
“Beli baju daerah khusus anak-anak mahal banget, jadi kita harus sewa. Tapi ongkos sewa baju daerah juga nggak murah loh. Bisa sampai 100-200 ribu. Ada harga ada rupa. Jangan harap dapat baju adat yang masih kinclong kalo harga sewanya murah.”
“Aku ngga ngerti. Jaman semakin maju, kurikulum sering gonta-ganti, banyak orang pintar. Mengapa perayaan Hari Kartini ngga berubah dari zaman kami masih SD?”
Ibu lainnya yang kami temui saat ia sedang berjualan di pasar berkata, “Buat saya hari Kartini itu bikin miris. Baju itu ngga bisa dipakai seharian penuh, paling cuma beberapa jam saja. Habislah uang tabungan beberapa hari hanya untuk acara Kartinian di sekolah si Dewi.”
Kalau Dewi sudah besar sih bisa pakai kebaya saya, tapi kalau masih kecil begitu, untuk apa saya beli baju khusus untuk Hari Kartini, toh dia cepat besar dan tidak bisa pakai baju itu lagi di tahun-tahun mendatang. Lebih baik uangnya untuk beli susu atau ayam.”
Begitulah curahan hati salah satu pembaca theAsianParent.com pada redaksi. Apa Anda juga merasakan hal yang sama, Bun?
Artikel terkait : Mengharukan! 15 Potret perjuangan seorang ibu demi anaknya, bukti kasih ibu sepanjang masa
Bagaimana seharusnya kita memeringati hari kartini? Haruskah selalu memakai baju adat?
Memang anak-anak terlihat lucu dan menggemaskan kalau didandani ala Ning Surabaya atau None Betawi. Itu hanya terjadi sekali dalam setahun, tepat saat perayaan Hari Kartini.
Saya setuju dengan curahan hati di atas. Mengapa anak harus dan wajib pakai baju adat setiap perayaan Hari Kartini?
Setahu saya sih, RA Kartini itu figur pejuang. Beliau berjuang bukan dengan perang, tapi berjuang agar para wanita saat itu bisa belajar dan punya pengetahuan.
Harapannya, pengetahuan bisa membantu para wanita untuk berusaha meraih hidup yang layak.
Kalau Kartini tidak berjuang, saya mungkin hanya bisa hidup dari belas kasihan kerabat. Tanpa Kartini, para wanita mungkin tidak bisa membaca, tidak bisa bekerja dan saya juga tidak akan jadi penulis theAsianParent. com.
Mengapa perjuangan RA Kartini yang begitu mulia hanya kita peringati dengan baju adat? Apakah RA Kartini itu juga seorang pencetus upaya pelestarian baju adat?
Di sisi lain, baju adat memang semakin tergeser oleh baju modern. Siapa di antara Anda yang masih pakai kebaya atau baju adat saat menghadiri acara pernikahan? Jangankan tamu, pasangan pengantin pun sudah jarang yang pakai baju adat saat upacara pernikahan.
Mewajibkan anak pakai baju adat saat Hari Kartini memang ada sisi positifnya. Anak bisa tahu macam-macam pakaian adat dari berbagai suku di Indonesia. Kita bisa tanamkan pengertian baju adat itu tak kalah keren dengan jeans dan t-shirt.
Artikel terkait : Wow, menyambut Hari Kartini 7 restoran ini adakan promosi, ajak Si Kecil, yuk!
Akan lebih baik lagi jika ada lomba busana adat untuk anak, agar usaha dan uang orangtua pun tak terbuang sia-sia. Supaya tidak merepotkan, tidak semua anak diwajibkan pakai baju adat. Hanya peserta lomba baju adat saja yang memakainya.
Lebih baik lagi jika lomba perayaan Hari Kartini lebih bervariasi, tidak jauh dari apa yang pernah diperjuangkan sosok ini di masa lalu. Misalnya, lomba membuat esai tentang Kartini untuk anak kelas 5-6 SD. Bisa juga lomba menggambar Kartini, atau lomba lancar membaca untuk murid TK.
Pihak sekolah dan orangtua murid sebaiknya juga berdiskusi sebelum mengadakan kegiatan non akademis seperti Hari Kartini.
Pihak sekolah seharusnya lebih terbuka terhadap masukan. Sedangkan para orangtua murid sebaiknya tidak menggerutu di belakang kalau tidak setuju dengan keputusan pihak sekolah.
Mari kita hargai upaya RA Kartini mendidik kaum wanita Indonesia dengan mengadakan kegiatan yang lebih bermakna, ya, Bun.
Sumber gambar : idQuote
Baca juga:
id.theasianparent.com/promosi-hari-kartini