Penyandang disabilitas, dirimu istimewa, Nak
Aku tak ingat kapan aku pernah berlari dengan lincah. Ujar ibu, aku pernah menjadi anak yang aktif bergerak ketika berumur 2 tahun. Sebelum penyakit polio menyerang dan melumpuhkan kedua kakiku.
Poliomielitis atau polio yang menyerangku, disebabkan oleh virus poliovirus (PV) yang masuk ke dalam tubuh melalui mulut dan menginfeksi saluran usus. Serangan virus itu menyebabkan aku mengalami demam tinggi hingga beberapa hari. Efeknya baru terasa ketika demam telah usai. Pada saat itu, virus telah memasuki aliran darah dan mengalir ke sistem saraf pusat, mengakibatkan aku tak bisa menggerakkan kedua kakiku lagi.
Di saat aku mulai mengerti, aku disergap pertanyaan demi pertanyaan yang membuat aku merasa letih. Mengapa aku berbeda dengan teman-temanku? Kenapa aku tidak bisa berlari dan bergerak seperti orang lain? Mengapa aku tak bisa menari? Dan mengapa harus aku yang mengalami nasib seperti ini?
Aku merasa menjadi orang hukuman, tanpa mengetahui kesalahan apa yang telah kuperbuat. Hal ini membuat aku mulai mempertanyakan keadilan Tuhan.
Beruntung, aku memiliki keluarga yang luar biasa. Orangtua, terutama ayah, juga saudara-saudaraku tidak pernah membiarkan aku berlarut –larut dalam kesedihan dan rasa putus asa.
Mereka selalu berusaha membangkitkan semangat dan menumbuhkan rasa percaya diriku dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang menggelisahkan itu dengan memberikan jawaban yang menentramkan. “Karena dirimu istimewa, Nak.” jawab ayahku.
Adakah jawaban yang lebih melegakan dari itu? Kesadaran pun muncul dengan melihat jerih payah orangtua ketika mengupayakan memberikan pengobatan terbaik bagiku, hingga aku bisa bisa berjalan meski pun tidak sebagaimana mestinya.
Pendidikan yang baik adalah modal untuk menumbuhkan rasa percaya diri penyandang disabilitas
Orangtuaku juga selalu memberikan kesempatan untuk berkembang dan memperoleh pendidikan terbaik, seperti yang diterima saudara-saudaraku yang lain. Aku pun tidak pernah disembunyikan dari pandangan orang-orang . Keberadaanku tidak dianggap sebagai aib yang harus ditutup-tutupi, melainkan sebagai sosok istimewa di hati orangtuaku.
Dalam mendidik orangtuaku yang tidak pernah memperlakukan aku secara khusus, melainkan sama seperti saudara-saudaraku yang lain. Aku mendapat perlakuan yang sama, baik dalam kasih sayang maupun hukuman saat aku melakukan kesalahan.
Mereka selalu mendorongku untuk meraih prestasi dalam kegiatan-kegiatan yang aku sukai. Ada satu hal yang selalu aku yakini, di saat aku jatuh dalam kesedihan, mereka selalu ada di sampingku.
Rasa percaya diri pun muncul. Meski tak bisa berlari, aku tumbuh bahagia dan bersemangat seperti anak-anak lainnya. Memang ada fase-fase tertentu di mana aku merasa keterbatasan fisik ini membuat rasa percaya diriku kembali hancur. Pada saat-saat seperti itu, ayah adalah sosok yang paling menentramkan buatku.
Ayah pula yang mendorongku untuk mengikuti berbagai kursus keterampilan. Beliau menyadari bahwa ijazah S1 yang kuperoleh dari universitas swasta terkenal di Bandung, ternyata tidak bisa kuandalkan untuk memperoleh pekerjaan kantoran.
Peluang kerja untuk kaum disabilitas amat terbatas. Bersyukur berkat perjuangan tak kenal lelah dari pejuang-pejuang disabilitas, kini setidaknya dari 100 orang pegawai baru, baik negeri maupun swasta, tersedia satu kursi khusus bagi penyandang disabilitas.
“Jangan biarkan orang lain menilai dari kekuranganmu. Berusahalah agar mereka hanya melihat kelebihan yang kamu miliki.”
Nasehat ayah itu bagai oase, yang tidak saja menyejukkan, namun juga memberi suntikan energi yang tak kunjung putus. Demi membuktikan pada ayah, bahwa aku bisa, aku berusaha menjadi yang terbaik dalam setiap kursus keterampilan yang kuambil.
Banyak kursus keterampilan yang kuikuti. Mulai dari menjahit, memasak, make up, fashion design hingga pengembangan kepribadian. Hal yang membanggakan ketika aku berhasil lulus sebagai siswa terbaik pada salah satu kursus tersebut, yaitu fashion design.
Ayah juga yang pertama-tama memberikan dukungan agar aku aktif mengikuti organisasi penyandang disabilitas dan memperjuangkan nasib penyandang disabilitas. Hingga akhirnya aku bisa bertemu dengan Presiden RI kedua, Bapak Soeharto dalam sebuah acara Official Opening Ceremony Leadership Trainning Region Asia Fasifik.
Aktivitasku dalam organisasi berhenti saat aku menikah dan memutuskan untuk total mengurus keluarga kecilku. Aku tak ingin aktivitasku di luar rumah membuat aku kehilangan masa-masa berharga bersama kedua buah hatiku, yang tidak kuperoleh dengan cara mudah.
Memiliki suami dan anak-anak yang penuh perhatian dan pengertian membuatku lengkap. Anak-anak tak pernah menunjukkan rasa malu saat berjalan bersamaku. Kehadiran mereka merupakan obat terindah dari semua kepedihan yang dulu kurasakan.
Terkadang aku berpikir, Tuhan menggantikan apa yang tidak bisa kulakukan dengan jauh lebih baik. Aku yang tak bisa menari ternyata dianugerahi seorang putri yang terampil menari. Bahkan ia berhasil mengukir prestasi dalam beberapa lomba yang diikutinya.
Sebagai ibu rumah tangga, sedikit banyak aku bisa membantu suami dengan memanfaatkan keterampilan memasak dan membuat kue, khususnya kue-kue kering menjelang Lebaran.
Memperjuangkan kesetaraan hak penyandang disabilitas
Kini, setelah anak-anak beranjak besar, aku mulai bisa kembali melakukan aktivitasku di luar rumah. Aku kembali aktif mengikuti dan memperjuangkan hak-hak disabilitas dengan aktif bergerak di organisasi PPDI (Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia).
Kami membahas tentang hak penyandang disabilitas dalam mendapatkan kemudahan pelayanan BPJS, hak dan kesempatan penyandang disabilitas dalam pemilihan umum, juga hak disabilitas untuk mendapatkan kesempatan bekerja di kantoran.
Masih sangat banyak agenda yang harus diperjuangkan bagi kenyamanan hidup penyandang disabilitas. Di antaranya menanamkan pengertian pada masyarakat bahwa penyandang disabilitas adalah anggota masyarakat yang setara dalam hak dan kewajiban, meski pun memiliki keterbatasan secara fisik.
Disabilitas bukanlah alasan untuk meniadakan hak dan kesempatan bagi penyandangnya untuk mendapatkan posisi setara dalam masyarakat. Banyak penyandang disabilitas di luar sana yang memiliki prestasi dan memiliki berbagai keterampilan sehingga mampu hidup secara mandiri di tengah masyarakat.
Menjalani hidup sebagai seorang disabilitas memang memerlukan perjuangan yang lebih besar. Kami dituntut untuk menunjukkan kemandirian dan mengoptimalkan seluruh potensi yang kami miliki agar tidak dipandang sebelah mata. Kami selalu berusaha keras untuk menujukkan kelebihan kami, agar masyarakat tidak terpaku pada kekurangan fisik kami.
Parents, anak adalah titipan yang paling berharga dari Sang Maha Pencipta. Meski kita menghendaki kelahiran anak yang sempurna, Tuhan bisa saja memberikan anak yang ‘spesial’. Itu bukanlah hukuman, melainkan agar Anda menjadi orang pilihan.
Jika suatu saat anak Anda bertanya, “Mengapa aku berbeda?” Jawablah pertanyaan itu dengan penuh kelembutan dan keyakinan, bahwa itu karena mereka begitu istimewa.
Jangan menyembunyikan dan menolak keberadaan mereka, karena itu sangat menyakitkan bagi mereka. Akuilah keberadaannya sebagai bagian dalam keluarga. Jadikanlah mereka sosok yang istimewa bagi Anda dan kehidupan.