Pengakuan Seorang Ibu Rumah Tangga: Aku Tidak Malu dibantu Baby Sitter untuk Mengasuh Anak

Post Partum Depression saat kelahiran anak pertama dan keduanya membuat ibu rumah tangga ini merasa perlu merekrut baby sitter untuk mengasuh anak-anaknya.

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan

Banyak stigma negatif yang didapatkan oleh seorang ibu rumah tangga yang memiliki pengasuh atau baby sitter untuk mengasuh anak-anaknya. Proses seorang ibu rumah tangga untuk tidak gengsi saat harus dibantu baby sitter tersebut adalah hasil dari pemikiran panjang dengan penuh pertimbangan.

Sebagai seorang ibu rumah tangga, Lisa Sadikman awalnya malu untuk merekrut baby sitter untuk mengasuh anak-anaknya. Namun, dengan pertimbangan yang ia jabarkan di dalam tulisan ini, kita akan memahami sebabnya mengapa seorang ibu rumah tangga tak perlu malu untuk meminta bantuan orang lain.

Berikut pengakuan jujur terkait pilihannya terhadap baby sitter untuk mengasuh anak yang dimuat di laman Scary Mommy.

Ketika tes kehamilan menunjukkan hasil positif untuk kelima kalinya. Aku harus menerima bahwa aku akan segera punya anak ketiga di usiaku yang ke 41 tahun. Kehamilan ini tidak seharusnya terjadi. Bahkan dokter Obgynku tidak percaya ketika aku mengabarinya lewat telepon. Berdasarkan tingkat hormonku, kemungkinan menjadi hamil dengan cara konvensional prosentasenya kurang dari 5%. Dokter terkejut saat aku berhasil mengalahkan berbagai macam kemungkinan terburuk sekalipun disaat secara khusus aku memang tidak benar-benar sedang berusaha untuk hamil. Kami memang tidak pernah berusaha untuk punya anak. Selama bertahun-tahun, suamiku ingin anak ketiga dan aku hanya mengabaikan semua keinginannya. Aku biasanya hanya akan memberi jawaban dengan cara memiringkan kepala ke sisi “nggak deh...” daripada “mengapa tidak?” Baginya itu adalah sebuah keputusan tanpa pemikiran yang matang. Suami adalah satu dari tiga orang anak laki-laki di keluarganya, dan dia ingin punya anak lebih dari itu. Tapi, punya anak lagi selalu membuatku ketakutan. Kenanganku sebagai ibu bertahun-tahun yang lalu dengan dua anak perempuan yang masih kecil membuatku ngeri. Aku tidak ingin kembali menghadapi perasaan sedih, cemas, dan hal lainya setiap hari. Tuntutan anak-anak yang terjadi terus menerus kadang membuatku jengkel. Perasaan khawatir apakah aku sudah memutuskan sesuatu yang benar membuatku merasa sangat kelelahan. Aku sudah mencoba untuk menjaga perasaan negatif yang bersarang di dalam hati. Setidaknya membuangnya jauh-jauh dari anak-anak perempuanku, tapi aku tidak selalu berhasil. Aku terlalu sering marah-marah, terlalu banyak menangis, dan aku benar-benar yakin bahwa aku gagal jadi seorang ibu. Ketika gadis kecilku memeluk dan menciumiku, aku pikir aku tidak pantas mendapatkannya. Ketika suamiku tersenyum dan mengatakan bahwa aku adalah seorang ibu yang baik, aku juga tidak percaya padanya.
Aku ingat-ingat, aku baru menyadari bahwa aku menderita depresi paska melahirkan (post partum depression) sejak kelahiran anak pertama dan kambuh lagi saat kelahiran anak kedua. Aku terlalu malu untuk memberitahu siapa pun tentang perasaan yang aku rasakan. Aku tidak bisa membendung pikiran buruk bahwa kesedihanku ini mungkin karena aku tidak mencintai putriku atau aku adalah orang mengerikan yang tidak bisa menemukan kebahagiaan dalam menjalani peran sebagai seorang ibu. Aku dibesarkan untuk percaya bahwa jika aku mencoba cukup keras, aku akan bisa mengatasi apa pun. Alih-alih meminta bantuan, aku meyakinkan diriku bahwa aku bisa menangani perasaan takut dan ketidakmampuan ini sendiri. Ketika putri pertamaku lahir, aku terus melanjutkan pekerjaanku sebagai konsultan yang dikerjakan dengan waktu yang fleksibel dan menolak untuk menyewa pengasuh. Aku baru mengandalkan baby sitter ketika aku sedang menghadiri pertemuan klien atau harus bekerja di lokasi. Aku bekerja pada saat bayi sedang tidur siang dan di tengah malam setelah menyusui. Aku sangat kacau dan kelelahan, tapi aku tetap tidak ingin orang lain mengasuh anakku. Aku ingin menjadi seorang ibu seutuhnya, jadi aku benar-benar akan melakukan ini sepanjang waktu. Ketika putri kedua lahir dua setengah tahun kemudian, aku menyadari bahwa bagaimanapun, aku tidak akan bisa mempertahankan jadwal kerjaku. Tapi bukannya menemukan tempat penitipan anak, aku justru berhenti kerja dan tinggal di rumah sepenuhnya. Aku pikir jika aku bisa fokus pada menjalani peran sebagai seorang ibu, aku akan menjadi lebih bahagia dan jadi ibu yang lebih baik dari sebelumnya. Tetapi depresi tidak dapat dituntaskan dengan cara seperti itu. Depresi tidak bisa hilang begitu saja, meskipun aku berpura-pura bahwa segalanya teratasi dengan baik-baik saja. Aku mengembangkan beberapa hal untuk membantuku menata segalanya. Aku juga mengatur agar aku punya waktu istirahat sebanyak mungkin, aku juga mengambil nafas dalam sebanyak tiga kali saat harus mengejar anak-anak yang berlari tak terkendali. Aku berhenti berusaha untuk melakukan semua hal dan menyewa asisten rumah tangga untuk datang seminggu sekali. Aku juga berusaha untuk tidak memforsir diriku untuk bermain bersama anak-anak dan mendaftarkan mereka di berbagai macam kegiatan. Aku juga membiarkan suami mengasuh anak-anak dan tak pernah bersikeras mengerjakan segala sesuatunya sendiri. Aku berusaha keras memperhatikan segala kemajuan dan keindahan yang ada. Misalnya saat anak pertamaku belajar membaca, dan adiknya tampak sangat gembira saat mengendarai sepeda roda tiganya. Aku berhasil meredakan berbagai kesedihan dan rasa marah yang hinggap dari waktu ke waktu. Namun bukan berarti perasaan itu pergi. Saat anak bungsuku mulai masuk TK, aku merasa bahwa rasa kebingungan yang menderaku seputar pengasuhan anak-anak ini sudah semestinya diakhiri. Apalagi tiba-tiba saja aku hamil. Pikiran akan kembali ke hari-hari panjang dan malam tanpa tidur membuat rasa takutku semakin konyol. Aku tidak ingin menjadi seorang ibu yang mengasuh anak dengan perasaan hampa, malu, dan merasa tidak cukup baik sebagai ibu atau yang lebih buruk lagi, aku akan mengacaukan mental anakku dengan emosi negatif. Jika aku akan memiliki anak ketiga, maka aku membutuhkan bantuan. Aku butuh pengasuh full time yang tinggal di rumah. Butuh waktu lama untuk menyadari bahwa aku butuh pengasuh anak dan keputusan ini pun bukanlah keputusan yang cukup nyaman untukku. Memiliki perasaan depresi saat bertugas menjadi seorang ibu menenggelamkanku ke dalam rasa gengsi yang teramat sangat. Aku merasa gengsi untuk meminta bantuan pengasuh saat aku akan memiliki bayi lagi dan menjadi ibu rumah tangga di rumah. Tapi aku merasa sangat beruntung ketika dapat merekrut pengasuh yang bisa bekerja penuh-waktu untuk membantuku. Di saat yang sama, meminta bantuan adalah sebuah kelegaan yang teramat sangat. Kali ini, dengan bayi ini, akan ada yang menolongku ketika perasaan gemetar karena kesedihan mengguncangku. Akan ada orang dewasa yang membantu mengasuh anakku dengan penuh cinta saat aku perlu menjaga diriku sendiri, menyadarkanku kembali, dan kembali menjadi seorang ibu sepenuhnya yang siap memberi dan menerima. Aku menyewa pengasuh kami beberapa minggu sebelum putri ketiga kami lahir. Rasanya tidak berlebihan jika aku merasa bahwa hadirnya pengasuh kami setiap hari di rumah selama empat tahun lamanya membuatku menjadi seorang ibu yang lebih baik. Mengetahui ada dia di sana untuk berlapang dada dengan ketiga anak perempuan telah membantuku mengusir beberapa kecemasan dan kesedihan yang ada. Terapi yang sudah aku jalani jelas membantu juga. Sekarang anak ketigaku sudah sekolah di TK. Kakak-kakaknya sudah sekolah tingkat menengah dan sekolah tinggi. Aku pun kembali bekerja paruh waktu. Sulit untuk mengetahui apa yang kita butuhkan sebagai seorang ibu, apalagi meminta bantuan. Jika Anda membutuhkan bantuan, katakanlah pada seseorang. Aku tahu bahwa pilihan yang aku jalani tentu tidak berlaku untuk semua orang. Pesan inti yang ingin aku sampaikan pada semua ibu adalah sama. Kita tidak perlu melakukan segala sesuatunya sendirian.

Selalu ada saja orang yang mengkritisi keputusan kita tentang perlu atau tidaknya merekrut seorang baby sitter untuk mengasuh anak. Namun, jika memang kita butuh pertolongan baby sitter dan mampu secara finansial untuk menggajinya dengan upah yang layak, maka tidak ada seorang pun yang berhak untuk mengganggu gugat keputusan itu.

Dibantu oleh baby sitter untuk mengasuh anak-anak bukan berarti kita tidak menyayangi anak-anak. Justru karena kita mencintainya, maka kita perlu berusaha semaksimal mungkin untuk menjadi ibu yang sehat secara fisik dan mental demi anak-anak kita.

Adakah diantara Bunda sekalian yang pernah dikritik oleh ibu lainnya hanya karena merekrut baby sitter untuk mengasuh anak? Bagikan pengalaman Anda ya.

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan

 

Baca juga:

Curhatan Seorang Ibu Rumah Tangga: IRT Bukanlah Pengangguran

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan

 

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan

Penulis

Syahar Banu