Sebuah lembaga berbasiskan agama yang bermana Council of Islamic Ideology (CII), mengusulkan disahkannya hukum memukul istri jika menolak berhubungan badan, atau tidak berpakaian sesuai standar yang diinginkan suami.
Lembaga yang terbentuk pada tahun 1961 ini, mengajukan proposal dilegalkannya hukum memukul istri secara ringan kepada pemerintah Pakistan, pada bulan Mei 2016.
Proposal ini mereka ajukan tidak lama setelah pemerintah mengesahkan UU perlindungan perempuan pada bulan Maret 2016, yang memudahkan para wanita korban KDRT melaporkan kekerasan yang dilakukan suaminya.
Proposal yang diajukan CII memuat usulan, agar suami dibolehkan memukul istrinya secara ‘ringan’, jika sang istri menolak diajak berhubungan seks, bersuara keras pada suami, atau tidak mematuhi aturan berpakaian yang ditetapkan suami.
Proposal mereka juga memuat larangan para wanita yang berprofesi sebagai dokter merawat pasien laki-laki, mengunjungi pria yang tidak memiliki hubungan keluarga, juga melarang perempuan tampil di iklan jenis apapun.
Asma Jahangir, seorang pengacara dan aktivis HAM menyatakan, proposal yang diajukan CII tentang hukum memukul istri, adalah penghinaan terhadap perempuan.
Proposal yang diajukan oleh CII ini ditolak oleh pemerintah Pakistan. Rana Sanaullah, Menteri Hukum Punjab mengatakan pada BBC, “Islam tidak membolehkan kekerasan dalam bentuk apapun kepada wanita dan anak-anak.”
Maulana Muhammed Khan Sherani, pemimpin CII mengatakan hukum memukul istri harus disahkan.
Bagaimanakah hukum memukul istri dalam islam?
Pimpinan CII, Sherani menyatakan bahwa proposal yang diajukan lembaganya berdasarkan rujukan kepada al-Qur’an dan hadits. Dua sumber hukum Islam yang kuat.
Adapun yang kontroversi yang timbul di media akibat proposal UU yang mereka buat mengandung legalisasi hukum memukul istri. Dia menyatakan bahwa orang-orang di internet bukanlah masyarakat yang sebenarnya, dan keduanya adalah entitas yang berbeda.
Bagaimanakah hukum memukul istri yang diklaim CII sebagai sumber pengesahan terhadap pemukulan terhadap perempuan?
Hukum memukul istri didasarkan pada firman Allah SWT dalam al-Qur’an, surah An Nisa ayat 34:
“Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuz-nya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.”
Hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Muslim, juga menyebut tentang mendisiplinkan istri dengan cara memberi pukulan yang tidak keras:
“Bertakwalah kalian kepada Allah dalam perkara para wanita (istri), karena kalian mengambil mereka dengan amanah dari Allah dan kalian menghalalkan kemaluan mereka dengan kalimat Allah. Hak kalian terhadap mereka adalah mereka tidak boleh membiarkan seseorang yang kalian benci untuk menginjak (menapak) di hamparan (karpet di dalam rumah) kalian. Jika mereka melakukan hal tersebut maka pukullah mereka dengan pukulan yang tidak keras.” (HR. Muslim no. 2941)
Dari kedua dalil di atas, bisa dicerna beberapa hal penting. Yakni sebagai berikut:
1. Pemukulan hanya dilakukan jika istri melakukan dosa besar nusyuz
Secara jelas, al-Qur’an menyatakan bahwa suami boleh mendisiplinkan istri jika dia melakukan hal yang membuat malu keluarga, seperti selingkuh, membocorkan rahasia keluarga pada orang lain, atau menentang suami secara terang-terangan di depan publik.
Suami juga bisa dikategorikan sebagai pelaku nusyuz jika dia berhubungan dengan wanita lain tanpa sepengetahuan istri, dan tidak menjalankan kewajibannya untuk memberi nafkah lahir dan batin.
al-Qur’an juga menegaskan, pendisiplinan dilakukan secara bertahap. Pertama dinasehati, didiamkan, pisah ranjang. Dan jika semua hal tersebut tidak membuat istri jera, barulah pemukulan ringan yang tidak menimbulkan bekas luka boleh dilakukan.
Ayat 34 surah An Nisa di akhiri dengan peringatan kepada para suami, agar jangan mencari-cari alasan untuk menyakiti istri, jika sang istri sebenarnya sudah patuh kepadanya.
Artikel terkait: Duka seorang istri “Suami memukuliku di malam pertama kami…”
2. Pukulan tidak boleh menimbulkan bekas luka atau cedera serius
“Seorang suami tidak boleh memukul istrinya dengan cemeti atau tongkat, tetapi cukup dengan tangan, kayu siwak (ranting kecil), atau dengan sapu tangan yang digulung. Artinya, pukulan itu tidak boleh mengakibatkan cedera, menyiksa, dan membabi-buta karena memperturutkan kemarahan. Cukuplah sekadar memberi pelajaran dan bukan untuk menyaikiti. Ingatlah bahwa para suami harus lebih berhati-hati menjaga taqwa dan takutnya pada Allah SWT untuk membina rumah tangga.(Tafsir Al-Qasimi, 3/104)
3. Tidak memukul adalah yang paling baik
Memukul adalah alternatif terakhir, yang hanya bisa dilakukan setelah metode hukuman lainnya tidak mempan. Pukulan sebaiknya digunakan bila memang si suami yakin benar bahwa pukulan akan memperbaiki sikap istrinya.
Terakhir, cukuplah wasiat Nabi SAW berikut ini menjadi pegangan dalam menjalani kehidupan rumah tangga.:
“Orang yang imannya paling sempurna diantara kaum mukminin adalah orang yang paling bagus akhlaknya di antara mereka, dan sebaik-baik kalian adalah yang terbaik akhlaknya terhadap istri-istrinya”. (HR At-Thirmidzi no 1162 dari hadits Abu Hurairah dan Ibnu Majah no 1987 dari hadits Abdullah bin ‘Amr, dan dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani (lihat As-Shahihah no 284))
***
Apakah suami Anda sudah menjadi suami yang paling baik pada istri sesuai anjuran Nabi?
Baca juga:
Kisah Pilu Seorang Istri yang Alami KDRT dari Suaminya
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.