Heboh D-dimer pada Pasien COVID-19, Ini Hal yang Perlu Anda Tahu

Berikut hal yang perlu diketahui terkait D-dimer dan COVID-19.

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan

D-dimer dan COVID-19, apa hubungannta? Apakah memang kondisi D-dimer pada pasien COVID-19 jadi penentu apakah virus telah berkembang menjadi penyakit berat atau tidak?

***

Baru-baru ini, beredarnya tulisan mantan menteri BUMN Dahlan Iskan soal D-dimer dalam situsnya disway.id membuat penyintas COVID-19 kalang kabut. Banyak yang kemudian bertanya-tanya apakah mereka perlu memeriksakan kadar D-dimer meski kini sudah dinyatakan sembuh dari COVID-19.

D-dimer dan COVID-19, apa hubungannya?

Dalam tulisannya, Dahlan Iskan yang seorang penyintas COVID-19 mengaku kadar D-dimer darahnya mencapai 2.600 ng/mL saat menjalani perawatan bulan Januari silam. Ia juga menceritakan seorang pasien COVID-19 di Semarang yang meninggal dunia setelah dinyatakan negatif melalui dua kali swab PCR. 

Sehari setelah dinyatakan negatif COVID-19, pasien yang bernama Santoso itu dipindah ke ruang rawat pasien non-COVID. Tak lama kemudian, ia menjadi sulit bernapas dan akhirnya dirawat di ICU non-COVID dan dipasangi ventilator. Setelah diperiksa, D-Dimer Santoso mencapai 6.000 ng/mL. Sepuluh hari kemudian, pasien ini akhirnya meninggal. 

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan

Dari cerita ini, apa yang sebenarnya terjadi? Apa peran D-dimer dan COVID-19?

D-dimer dan COVID-19, Ini Hal yang Perlu Dipahami

D-dimer adalah pemeriksaan darah untuk melihat ada tidaknya bekuan darah yang berbahaya. Penjelasan berikut mungkin bisa membantu Anda untuk lebih memahami soal ini.

Ketika kulit Anda tersayat atau robek, tubuh akan berespon dengan membuat darah membeku atau menggumpal. Ini adalah bagian normal dari proses penyembuhan. Bila tidak terjadi, Anda akan terus mengalami perdarahan dan masalah menjadi lebih serius.

Setelah perdarahan berhenti, bekuan atau gumpalan darah ini tak lagi diperlukan. Tubuh akan mengambil langkah untuk menguraikan bekuan darah tersebut. Proses penguraian ini akan menghasilkan sisa-sisa yang mengambang di dalam darah. Salah satu zat sisa ini adalah protein D-dimer, yang biasanya akan menghilang dengan sendirinya dalam waktu singkat.

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan

Kadar D-dimer yang normal beradar di bawah angka 0,5 mg/L atau 500 ng/mL. Bila kadarnya di atas itu, darah cenderung membeku atau menggumpal dan hal ini bisa memicu serangkaian kerusakan di dalam tubuh. Sejumlah faktor dapat menyebabkan kadarnya naik, misalnya pada kondisi adanya tromboemboli vena, emboli paru, pasca operasi atau cedera, infeksi berat, serangan jantung, beberapa jenis kanker, dan penyakit hati.

Pemeriksaan D-dimer pada Pasien COVID-19

Pada kasus infeksi COVID-19, pemeriksaan D-dimer mampu membedakan berat ringannya penyakit. Semakin tinggi kadar D-dimer, semakin berat COVID-19 yang dialami. Pada COVID-19, hasil pemeriksaan D-dimer dapat memprediksi prognosis penyakit, apakah seseorang bisa survive atau sebaliknya berakhir dengan kematian. 

Dari hasil beberapa studi, 75-90% pasien COVID-19 yang menjalani perawatan di rumah sakit mengalami peningkatan D-dimer. Peningkatan kadar D-dimer yang bermakna, yakni hingga 3-4 kali lipat dari batas atas normal, berhubungan dengan kejadian penyakit kritis dan angka kematian yang tinggi akibat COVID-19. 

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan

Secara statistik, risiko kematian ini didapati 4,6 kali lipat lebih besar pada pasien COVID-19 dengan angka D-dimer >500 ng/mL dibandingkan dengan yang kadarnya normal. 

Mekanisme COVID-19 Memicu Peningkatan D-dimer

Virus penyebab COVID-19 atau SARS-CoV2 memasuki sel manusia dengan menyasar reseptor ACE-2 yang ditemukan pada sel-sel paru. Selanjutnya, virus ini memicu kerusakan paru melalui kejadian ‘badai sitokin’ (cytokine storm), yang memicu peradangan hebat, memaksa sel-sel kekebalan tubuh menghancurkan sel-sel sehat. Itulah sebabnya sebagian pasien COVID-19 memerlukan perawatan intensif. 

Berikutnya, respon peradangan yang masif selama infeksi COVID-19 ini memicu hati untuk memproduksi protein-protein yang melindungi tubuh dari infeksi. Namun sayangnya, protein-protein ini menginisiasi proses koagulopati—kondisi darah yang menggumpal akibat meningkatnya faktor pembekuan darah—yang dapat menimbulkan sumbatan pembuluh darah (tromboemboli) di jantung, paru, maupun organ lain. 

Alhasil, organ-organ akan kekurangan oksigen dan zat gizi yang pada akhirnya dapat menyebabkan kerusakan multiorgan dan kematian. Inilah yang terjadi pada kasus pasien Santoso, yang mengalami sumbatan aliran darah pada jantung. Meski demikian, pada kasus ini tidak diketahui dengan jelas apakah peningkatan D-dimer murni hanya karena COVID-19 atau diperberat dengan adanya penyakit penyerta lain.

Lantas, apakah semua individu yang dinyatakan positif COVID-19 perlu periksa D-dimer?

Pada kasus COVID-19, D-dimer biasanya diperiksa pada pasien yang dirawat di rumah sakit. Yakni, yang mengalami gejala COVID-19 sedang hingga berat. Pemeriksaan ini utamanya dilakukan pada pasien yang berisiko tinggi mengalami komplikasi penyakit seperti pasien lansia atau memiliki penyakit penyerta seperti diabetes, obesitas berat, penyakit jantung, riwayat stroke, penyakit ginjal, penyakit paru kronis, dan penyakit berat lainnya. 

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan

Bila terbukti ada peningkatan D-dimer di atas 1.000 ng/mL, pasien akan diberikan obat pengencer darah untuk melarutkan kembali bekuan-bekuan darah yang membahayakan ini.  Penggunaan obat-obatan ini harus hati-hati dan di bawah pemantauan dokter. Pemakaian yang tidak tepat justru dapat meningkatkan risiko terjadinya perdarahan.

Bagaimana dengan individu yang tidak bergejala atau yang mengalami COVID-19 ringan? 

Berdasarkan hasil-hasil studi yang sudah ada, peningkatan D-dimer tidak selalu terjadi pada semua yang positif COVID-19. Sebagian besar orang tanpa gejala (OTG) atau hanya bergejala ringan biasanya tidak mengalami peningkatan D-dimer. Kalaupun meningkat, angkanya tidak signifikan. D-dimer pun bisa kembali normal dengan sendirinya dalam waktu sekitar satu minggu tanpa pengobatan apapun.

Memeriksakan kadar D-dimer boleh-boleh saja, namun belum tentu bermanfaat bila Anda termasuk penyintas COVID-19 ringan (OTG atau yang bergejala ringan) yang sudah cukup lama sembuh dari penyakit tersebut. Katakanlah sudah 2 minggu hingga 1 bulan berlalu dan saat ini dalam kondisi sehat.

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan

Pemeriksaan ini akan jauh lebih bermanfaat bila dilakukan pada individu dengan infeksi aktif COVID-19 ringan atau memiliki penyakit penyerta seperti diabetes, penyakit jantung dan pembuluh darah, penyakit paru kronis, dan gangguan ginjal. Juga sebagai bentuk tindak lanjut pasca pengobatan di rumah sakit pada penyintas COVID-19 sedang dan berat yang sudah pernah diketahui kadar D-dimer-nya selama perawatan.

Namun yang pasti, perlu tidaknya pemeriksaan D-dimer pada COVID-19 bergantung pada berbagai faktor dan penilaian dokter terhadap kondisi pasien secara umum. Bila ada kekhawatiran tertentu terkait soal ini, silakan berdiskusi dengan dokter Anda.

Baca juga :

6 Hal yang Perlu Parents Ketahui Soal Vaksin COVID-19 pada Ibu Menyusui

Ingat! Ini Saturasi Oksigen yang Aman di Masa Pandemi COVID-19

Vaksin COVID-19 untuk Lansia, Apakah Aman Diberikan?