Dongeng klasik karya Charles Perault ini menggambarkan sosok wanita muda yang hidup merana di bawah siksaan ibu dan saudara tirinya. Kehidupan yang serba kejam itu di jalaninya semenjak kepergian sang ayah. Hidup Cinderella tiba-tiba berubah menjadi keberuntungan yang luar biasa saat bertemu dengan sang pangeran impian di sebuah pesta dansa.
Sepatu kaca dan gaun berwarna biru langit yang elegan berpadu dengan kecantikan Cinderella memukau seluruh orang yang hadir di istana. Kisahnya dan keajaiban tongkat ibu peri membuat kisah dongeng satu ini tak lekang oleh zaman.
Dongeng Cinderella inilah yang melatarbelakangi sebuah kondisi psikologis yang umum dijumpai pada wanita sekarang ini. Istilah Cinderella Complex merupakan istilah psikiatri modern yang pertama kali dicetuskan oleh Colette Dowling, seorang terapis asal New York sekaligus penulis buku “The Cinderella Complex.”
Dalam bukunya Dowling mengatakan setelah menemukan konflik mendalam yang terjadi pada wanita, yang berhubungan dengan kemandirian. Ia menjelaskan bahwa perempuan pada umumnya semenjak lahir tidak dididik untuk menghadapi ketakutannya, dan tidak diajarkan mengatasi segala masalahnya sendiri.
“Cinderella Complex belum secara resmi diakui sebagai kondisi psikologis, tapi telah menjadi konsep menarik yang perlu diingat dan bisa menjadi penjelasan atas kondisi psikologis beberapa wanita,” kata Dowling.
Apa penyebab Cinderella Complex?
Dowling menjelasakan, pria dianggap bertanggung jawab untuk menyediakan kebutuhan rumah tangga, dan wanita yang mempersiapkannya untuk keluarga. Akan tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa seiring perkembangan zaman, perempuan kini memiliki keleluasaan lebih dalam menentukan jalan hidupnya, seperti bepergian menjelajah dunia, memiliki pendidikan tinggi, dan karir mandiri.
“Masyarakat telah membangun sebuah citra akan perempuan dambaan yang memiliki sikap dan perilaku halus, lemah lembut, rela menderita, dan setia. Ia diharapkan dapat menerima semua kondisi hidup, bahkan yang terpahit sekalipun,” ujar Dowling.
Kecenderungan perempuan untuk bergantung pada pria, sebagian besar adalah perasaan yang terpendam. Rasa yang terpendam ini tidak hanya memengaruhi sebagian kaum perempuan. Dowling percaya bahwa Cinderella Complex menghantui seluruh wanita.
Akibat perbedaan pola asuh laki-laki dan perempuan
Cinderella Complex erat kaitannya dengan pola asuh anak. Anak perempuan cenderung lebih sedikit menerima dorongan untuk menjadi mandiri dengan pola asuh orang tua yang lebih protektif pula, serta sedikit tekanan untuk membangun identitas diri yang kuat. Hubungan antar anak perempuan dan orangtua yang cenderung lebih harmonis juga memiliki andil kuat dalam eksplorasi si anak yang kurang memadai terhadap nilai-nilai kemandirian.
“ Akibatnya, anak perempuan cenderung memiliki keterampilan hidup yang alakadarnya dan kepercayaan diri yang kurang, karena mereka hanya tahu cara menggantungkan hidup pada orang lain. Sementara anak laki-laki ditempa sangat keras untuk menguasai diri sendiri dan lingkungan sekitar, dan dipaksa untuk meninggalkan sikap manja dan ketergantungan, karena kedua sikap ini dianggap kewanitaan,” jelas Dowling.
Apa ciri-cirinya wanita mengidap Cinderella Complex?
Dowling menjelaskan wanita pengidap Cinderella Complex mendambakan pasangan penyelamat, seseorang yang dapat melindungi, mengayomi, dan menyediakan segala kebutuhan hidupnya. Hal itu bisa dilihat pada ibu rumah tangga yang harus meminta izin suaminya untuk sekadar membeli gaun. Juga terdapat pada wanita mandiri yang tidak dapat tidur di malam hari ketika pasangannya pergi ke luar kota.
“Bisa juga terjadi pada wanita yang tiba-tiba menjanda atau bercerai yang merasa depresi dan tidak berdaya karena harus mengurus dirinya sendiri,” katanya.
Cinderella Complex mengarah pada perilaku yang tidak efektif dalam pekerjaan, merasa cemas akan kesuksesan, hingga pada tahap ketakutan bahwa kemandiriannya akan menghilangkan esensi feminitas dirinya sebagai seorang perempuan.
Saat ini tercatat, 18% wanita Indonesia yang bekerja adalah kepala rumah tangga. Dan hampir setengah dari wanita yang suaminya bersedia dan mampu menghidupi keluarga, cenderung memilih untuk tidak bekerja.
Di satu sisi, perempuan modern kini telah mendapatkan segala kebebasan yang telah mati-matian mereka perjuangkan. Namun ironisnya, masyarakat tetap membedakan wanita ke dalam dua kategori: “wanita cantik” dan “wanita cerdas.”
“Jika seorang perempuan memiliki kecantikan dan kecerdasan, besar kemungkinan ia akan “dibuang” oleh masyarakat: tidak disukai oleh perempuan lain karena rasa iri, dan dijauhi pria karena mereka merasa minder dan tidak tahu harus bertindak,” ucapnya
Bayangan akan wanita ideal yang terbentuk dalam masyarakat, yang menggambarkan seorang perempuan sebagai pribadi lemah lembut dan berperan baik di dapur dan di tempat tidur, justru menggoyahkan rasa kepercayaan diri perempuan akan kemampuan dirinya sendiri, membuatnya makin tidak mandiri.
“ Sehingga, secara tidak sadar, banyak perempuan hingga saat ini diam-diam masih menunggu suatu faktor eksternal, yaitu seorang pria, untuk datang dan mengubah hidup mereka,” jelas Dowling. Dengan demikian, kita terjebak dalam kondisi yang mengikat: Cinderella Complex.
Bisakah wanita terlepas dari Cinderella Complex?
Hal pertama dan paling penting adalah mengenali sejauh mana ketakutan menguasai hidup Anda. Tulis sebuah jurnal pengamatan diri, catat segala mimpi dan khayalan Anda serta realitas yang sedang Anda hadapi. Bergabung dengan komunitas perempuan, atau rajin-rajinlah berkumpul dengan teman dekat Anda untuk saling sharing dan jujur membuka diri.
Sumber : Hello Sehat
Baca juga :
6 Tipe Pria yang bisa Menjadi Ayah Terbaik, Suami Bunda Termasuk Nggak?