Bagi sebagian bayi, mengisap jempol dapat membuat diri mereka nyaman dan merasa tenang. Sebagian dari mereka melakukannya ketika merasa lapar. Terlepas dari itu semua, terutama saat si kecil sudah melewati masa TK, apakah masih wajar bagi mereka mengisap jempol?
Berikut 4 alasan mengapa mengisap jempol dapat berbahaya bagi anak.
4 alasan mengapa mengisap jempol berbahaya
1. Masalah Gigi
Jika mengisap jempol telah menjadi kebiasaan, maka akan berpotensi menyebabkan anak memiliki gigi tonggos. Ada indikasi bahwa dorongan isapan jempol secara terus-menerus di dalam mulut akan membuat gigi depan bagian atas menjadi tidak rata dengan susunan gigi lainnya.
2. Infeksi
Ini cukup umum terjadi bagi anak yang suka menggigit kuku atau mengisap jarinya. Bakteri yang ada di mulut masuk ke dalam kulit dan akan menyebabkan infeksi.
Jempol si kecil nantinya akan memerah, bengkak, sakit jika disentuh, dan butuh penanganan dari dokter untuk mengeluarkan nanah yang ada di dalamnya dengan menggunakan jarum bersih. Kemudian, ibu jari sebaiknya diperban dan terkadang memerlukan konsultasi berkala demi menghindari adanya infeksi lebih lanjut.
3. Penyebaran bakteri
Bagi si kecil yang sedang duduk di bangku Prasekolah atau sedang bersama temannya, menyentuh mainan (dengan kuman dan bakteri dari anak-anak yang lain) dan memasukkan jarinya ke dalam mulut akan meningkatkan risiko anak untuk jatuh sakit. Kemungkinan lainnya sang buah hati akan mengalami sakit perut.
4. Masalah Sosial
Anak-anak yang lebih tua dan masih mengisap jempolnya mungkin akan diejek oleh temannya. Ia akan dianggap sebagai anak yang tidak bersih, berlagak seperti bayi, atau terlihat jorok.
Bagi mereka yang sudah di tingkat akut dalam mengisap jempolnya, akan sulit bagi mereka untuk berteman, tersenyum, maupun berinteraksi dengan yang lain.
6 tips mengatasi kebiasaan anak mengisap jempol
1. Berikan rasa nyaman
Bagi bayi yang suka mengisap jempol demi rasa nyaman, cobalah cari cara lain untuk memberikan rasa yang sama, seperti memutar lagu yang tenang, memegang tangan si kecil, dan memberikan mereka lebih banyak perhatian.
Umumnya, semakin banyak perhatian dan kehangatan yang diberikan kepada anak sejak masih bayi, semakin besar juga kemungkinan mereka cepat merasa mandiri seiring bertumbuh besar.
2. Perhatikan tanda-tanda jika ia lapar
Jika anak sering mengisap jempol beberapa jam setelah makan terakhir, ini bisa berarti dia sedang lapar. Ikuti keinginan si kecil untuk makan walau bertentangan dengan jadwal makannya yang ketat.
Hal ini diyakini akan mampu mengurangi kebiasaan mengisap jempol anak.
3. Alihkan perhatiannya
Membuat jari anak sibuk sendiri juga dapat menjadi cara yang ampuh. Alihkan perhatiannya untuk tidak mengisap jempol dengan cara bermain suatu permainan yang membutuhkan kerja jari-jarinya.
Mempelajari bahasa isyarat untuk bayi juga bisa menjadi solusi lain dalam mengalihkan perhatiannya. Di saat yang bersamaan, Anda juga akan meningkatkan kosa kata yang ia pelajari dan memberikan cara tambahan untuk mengekspresikan diri mereka sendiri.
4. Mengganti kebiasaan
Cobalah mengganti kebiasaan mengisap jempol dengan yang lain. Anda juga bisa membantunya dengan memperhatikan kapan saja jempol sering diisap olehnya, seperti saat menonton tv karena jari-jarinya tidak melakukan aktivitas apapun.
Untuk itu coba berikan mainan yang bisa dia remas-remas saat menonton TV.
5. Tunjukkan seperti apa akibatnya
Bagi anak yang lebih tua, Anda dapat meminjamkan buku dan gunakan mainan yang memperlihatkan gigi yang tonggos untuk menjelaskan kepadanya mengapa kebiasaan mengisap jempol itu adalah sesuatu yang buruk.
6. Jempol yang pahit
Untuk si kecil yang sudah tumbuh besar, Anda dapat membeli cat kuku yang pahit dan tentunya juga aman demi mencegah kebiasaan mengisap jempol.
Sebagian pakar parenting menolak keras cara ini sementara beberapa praktisi medis merasa tidak ada salahnya apabila cara ini dicoba. Apalagi di saat si kecil semakin sering mengalami infeksi akibat dari kebiasaannya mengisap jempol.
Semoga tips-tips ini dapat membuat si kecil berhenti dari kebiasa mengisap jempolnya ya, Parents.
Referensi: New Age Parent.
Baca juga: