Berbohong itu dosa?
Pernahkah Anda mengalami suatu situasi dimana Anda tak bisa mengelak untuk berbohong? Misalnya, ketika anak berumur 4 tahun bertanya mengapa ia tidak boleh pipis si dalam kolam renang.
Anda menganggap Si Kecil belum terlalu paham dengan penjelasan secara ilmiah, sehingga menjawabnya dengan : ‘Kalo Adek pipis di dalam kolam renang, nanti air kolam renang jadi kuning.’
Atau ketika Anda sedih karena bertengkar dengan pasangan, tiba-tiba menitikkan air mata saat menemani anak bermain. Anak menangkap basah Anda menangis dan bertanya mengapa. Anda terpaksa berbohong dengan mengatakan, “Ibu tidak apa-apa,” agar ia tak ikut sedih dan tetap ceria seperti biasa.
Pada kedua kasus di atas kita terpaksa berbohong demi kebaikan orang lain (agar kolam renang tidak kotor) dan kebaikan anak (menjaga perasaannya).
Namun, sebuah perbuatan yang hasilnya memuaskan, pasti akan kembali dilakukan di kemudian hari. Demikian juga kebohongan yang ‘sukses’ juga akan disusul oleh kebohongan lainnya entah kapan.
Dampak berbohong
Menurut National Geographic Indonesia (NGI), semua manusia sudah diajarkan bahwa berbohong itu tidak baik sejak mereka masih kecil.
Nilai yang ditanamkan oleh orangtua ini akan mengendap selamanya dalam diri anak hingga ia dewasa. Dengan kata lain, manusia sudah memiliki alarm dalam dirinya yang akan berbunyi dan mengingatkan jika mereka berbuat salah.
Masih menurut NGI, sebuah studi menunjukkan bahwa manusia normal dapat berbohong hingga 11 kali dalam satu minggu, atau sekitar 1 sampai 2 kali setiap harinya.
Manusia yang sering berbohong menghabiskan waktunya untuk memikirkan ‘versi lain’ tentang sebuah kejadian yang dialaminya, sedangkan ‘versi lain’ itu kenyataannya tidak pernah terjadi.
Keahlian menuturkan ‘versi lain’ suatu kejadian memang menguntungkan bagi mereka yang bekerja di dunia perfilman, atau bidang lain yang berkaitan dengan cerita fiksi, karena semakin tidak masuk akal suatu cerita, semakin banyak uang yang datang pada mereka.
Akan tetapi, kehidupan bukan panggung sandiwara. Alarm dalam dirinya berbunyi, tapi ia berpura-pura tidak mendengarnya. Mereka yang mencoba lari dari kenyataan dengan membuat kebohongan telah mengumpankan dirinya pada gangguan kesehatan, karena tubuh manusia akan menjadi tegang begitu ia mengucapkan sebuah kebohongan.
Masih ingatkah kisah si Pinokio yang hidungnya memanjang setiap kali berbohong? Ibarat pekerja kantoran yang sering bekerja lembur, begitulah kira-kira kondisi fisik kita jika terus menerus tegang karena telah berbohong.
Batuk pilek yang tak kunjung sembuh, sakit punggung, sakit kepala, depresi dan inferioritas adalah beberapa gangguan kesehatan fisik dan mental yang biasa menimpa seorang penghobi berbohong.
Hubungan kita dengan pasangan, keluarga dan rekan-rekan pun menjadi tak sehat karena Anda selalu curiga apakah mereka tahu tentang kebohongan Anda atau tidak.
Solusi terbaik
Tak pilihan lain bagi kita untuk menjaga dan menyayangi diri sendiri dengan cara selalu berkata jujur. Kita tak perlu lagi mengarang cerita tentang apa yang kita alami atau kita rasakan.
Kejujuran mungkin tidak akan menyenangkan buat sebagian orang. Meski Anda terpaksa berbohong demi kebaikan (white lie). Suatu saat Anda tetap harus mengatakan yang sebenarnya demi menyelamatkan diri Anda dari gangguan kesehatan, baik fisik maupun mental.
Parents, semoga ulasan di atas menjadi inspirasi kita dan keluarga kita untuk selalu mengutamakan kejujuran.
Referensi : nationalgeographic.co.id