Hati ibu mana yang tak terasa perih ketika sang bayi disebut gagu? Itulah yang kualami.
Perjuangan Menghadapi Nyinyiran Bayi Disebut Gagu
“Nata sudah bisa apa?” Begitulah pertanyaan yang biasanya disampaikan tetangga yang Budiman, setiap kali saya membawa anak bayi mungil berusia 4 bulan ini untuk mandi sinar matahari di pagi hari, atau sekadar jalan-jalan santai di sore hari.
Sebelumnya, mari berkenalan singkat. Saya ibu satu anak yang berprofesi sebagai content writer. Tapi, tentu saja, profesi utama saya adalah mengasuh anak tercinta. Ini anak pertama saya, bayi laki-laki, lahir 27 Januari 2020. Ayahnya memberi nama Nata Jiwa Kafi, berharap anak ini tumbuh dengan mental dan jiwa yang rapi dan tertata, sehingga mampu menjalani hidup dengan terampil, aman, dan berguna.
Saat ini Nata sudah berusia 2,5. Tapi saya kali ini akan bercerita, sembari mengenang pengalaman yang sempat saya tuliskan di masa lalu, ketika Nata masih berusia sekitar 4 bulan.
Kejamnya Komentar Netizen
Kembali ke awal cerita, ketika saya membawa sang bayi keluar, ada saja komentar yang terlontar dari mulut netizen:
Kenapa diam saja?
Mana senyumnya?
Sudah merangkak?
Sudah tumbuh gigi?
dan seterusnya… dan seterusnya.
Atas ragam pertanyaan yang terlontar, saya ceritakan apa adanya. Dijawab secukupnya. Lalu membiarkan komentar-komentar berseliweran semaunya sendiri saja. Sudah seharusnya saya tak terlalu pusing mengendalikan pikiran orang dan apa saja yang ingin mereka utarakan. Lagi pula, itu pasti merupakan wujud perhatian mereka kepada anak saya tercinta.
Nata sepertinya banyak waspada, makanya dia mau diam dan mengamati sekitar terlebih dahulu, sebelum menunjukkan pesonanya, atau membalas candaan orang asing dengan senyum manisnya. Ia juga masih belajar merangkak, tapi saya tak mau menjadikannya ajang pameran sana-sini, bukan? Dia juga belum tumbuh gigi, tapi saya tak mau khawatir terlalu dini.
Berusaha agar tak menjadi Ibu Monster ketika Bayi Disebut Gagu
Saya mungkin ibu yang cukup sensitif. Tapi memang butuh kesabaran tinggi dalam menghadapi komentar-komentar yang tak terkendali, agar tak jadi “monster”.
Bahkan nenek yang tinggal di sebelah kontrakan pernah dengan entengnya menyebut Nata “Pire”. Itu kata bahasa Sunda yang artinya “Gagu”, karena Nata tidak segera berceloteh ketika si nenek mengajak berinteraksi. Sejujurnya, saya ingin marah dan mengur, tapi saya hanya diam dan pergi menghindar.
Begitulah saya. Mungkin kamu akan menyebut saya pengecut. Tapi saya memang tak terlatih untuk bersikap kasar kepada orang tua. Karena itulah, lebih baik berusaha sekuat tenaga mengendalikan diri dan emosi, sembari terus mengamati dan waspada.
Jika harus ada yang dikonsultasikan soal Nata, perihal ia yang lebih banyak diam di keramaian, saya berusaha tidak mengumbarnya. Lebih baik memilih beberapa teman dan ahli yang bisa dipercaya, ketimbang berkeluh kesah pada netijen. Itulah hal terbaik yang bisa saya lakukan ketika ada komentar yang kurang berkenan.
Mendampingi Nata yang terus tumbuh dan berkembang merupakan pengalaman pertama saya. Ini sebuah kesempatan istimewa yang seharusnya tidak dicemari dengan ragam keluh kesah, apalagi khawatir berlebihan. Biarlah Nata tumbuh dengan kemampuannya, dengan takdir yang sudah ditetapkan Tuhan-Nya. Di sini posisi saya dan ayahnya adalah sebagai penjaga dan pendamping yang masih terus belajar. Bukan sebagai “penuntut” apalagi “pendakwa”.
Selamat bertumbuh, Tata… Semoga selalu tenang dan bahagia. Aamiin….