Pernahkah Parents merasa bahwa anak Anda adalah anak baik yang berprestasi di sekolah, selalu menurut apa kata orangtua, disiplin, menaati peraturan, dan tampak sempurna? Jika iya, maka Anda harus tahu bahaya yang diam-diam mengintai saat ia terus menerus memperlihatkan dirinya sebagai ‘anak baik’.
Anak yang perkembangan psikologisnya normal akan menunjukkan sikap memberontak karena itu adalah mekanisme otomatis yang ia miliki saat tidak ingin melakukan apa yang memang tidak ia inginkan. Namun, bagaimana dengan anak penurut di depan orangtua dan orang-orang di sekitarnya?
Ternyata, ‘anak baik’ tak selamanya benar-benar sesuatu yang positif. Berikut bahaya yang diam-diam dimilikinya:
1. Kurang berpengalaman
‘Anak baik’ tak akan memiliki pengalaman soal bagaimana caranya menghadapi orang yang kecewa dengan apa yang ia lakukan. Karena ia selalu melakukan hal yang sesuai dengan ekspektasi orang-orang sekitarnya.
Anak perlu merasakan berbagai emosi. Kecewa, sedih, marah, iri, melawan, dan sebagainya. Sekalipun beberapa hal mungkin termasuk sikap buruk, namun anak jadi lebih bisa mengenal perasaannya sendiri dan dihadapkan pada situasi yang membuatnya mencari solusi atas permasalahan tersebut.
Selain itu, jika menemukan solusi yang tepat, ia akan menjadi seseorang yang secara emosional cerdas. Pengalaman akan kekecewaan, ketidaksempurnaan, dan lainnya juga akan membuat anak jadi lebih bijak.
2. Mati rasa
Orangtua yang perfectionist biasanya mengatur agar anaknya dapat menjadi anak baik terutama di depan orang lain. Tuntutan untuk menahan ekspresi dan emosi akan membuat seorang anak jadi tak mengenali perasaan dirinya sendiri dan cenderung mati rasa.
Ia akan bingung mengekspresikan sesuatu ketika tidak ada instruksi tentang apa yang harus ia lakukan. Karena hidup dengan penuh aturan, ia juga bisa jadi orang kaku yang selalu bingung harus bersikap apa karena selama ini sikapnya selalu normatif.
3. Menyimpan terlalu banyak rahasia
Karena terbiasa untuk tampil sebagai anak baik yang selalu memenuhi ekspektasi orang lain, maka ia akan menjadi penuh rahasia. Ia akan tahu bagaimana menjaga nama baik, mengatakan hal yang tidak menyinggung hati orang lain, menghilangkan kecurigaan, dan menepis kabar yang tak baik.
Namun, karena lihai menyembunyikan jati diri ini, ia bisa melakukan apapun yang tidak diketahui oleh orang lain. Bukankah sudah sering ada kasus di mana secara tak terduga pelakunya adalah orang yang tampak jadi orang baik dan patuh hukum?
4. Saat dewasa, ia akan punya masalah dengan seks
Book of Life mencatat bahwa anak baik-baik akan memiliki masalah seputar seks saat dewasa nanti. Karena dipandang sebagai anak baik, maka ia akan dianggap memiliki kepolosan sekaligus kesucian yang harus ia jaga dengan ketat.
Sesungguhnya, mengenalkan seputar pergaulan seksual dan alat reproduksi padanya akan membuat si anak baik jadi lebih terproteksi dengan pengaruh buruk dari kehidupan seksual remaja. Paduan rasa penasaran, kepentingan untuk menjaga nama baik, dan tidak ada teman bicara akan membuat ‘anak baik’ bingung dan bisa melakukan hal tak terduga.
5. Memiliki masalah dengan pekerjaan
Pemimpin yang baik akan berani memutuskan sesuatu sekalipun membuat beberapa orang kecewa. ‘Anak baik’ terbiasa mengikuti aturan dan berusaha untuk menyenangkan semua orang sehingga ia tidak dapat memiliki ide segar yang akan dapat bermanfaat untuk pekerjaannya.
Ia kurang dapat mengambil risiko karena ia terbiasa mengikuti apa yang sudah ada. Sehingga pikiran kreatifnya tidak terasah sejak dini. Sebaliknya, anak yang saat kecil menjadi pemberontak justru saat besar akan tumbuh menjadi orang yang memiliki ide kreatif yang akan dapat berguna untuk pekerjaannya kelak, sekalipun ide yang ia ajukan bukanlah sesuatu yang populer dan disenangi banyak orang.
Kebanyakan, para ‘anak baik’ dibesarkan oleh orangtua yang perfectionist, otoriter, dan suka mengontrol orang lain. Sesungguhnya, jika ingin anak kita berkembang dengan wajar dan penuh welas asih luar dan dalamnya, menjadi orangtua sekaligus teman baginya yang berbagi cerita apa saja adalah hal yang lebih baik daripada jadi orangtua galak yang suka mengatur segalanya.
Banyak orangtua otoriter dan suka mengatur-atur anaknya berdalih bahwa itu semua adalah untuk masa depannya. Kevin Thomson mengatakan bahwa tugas orangtua bukanlah menjadi evaluator tentang apa yang telah ia lakukan, melainkan memberikan cinta, apapun keadaannya. Namun, apa yang terjadi jika anak menjalaninya tanpa ada rasa bahagia di dalam hatinya?
Anda pilih jadi orangtua macam apa untuk anak?
Baca juga: