Sejak kemarin, (3/4/2018) aplikasi Tik Tok akhirnya resmi ditutup oleh Kominfo.
Kepada BBC Indonesia, Semuel Abrijani, Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kominfo mengatakan bahwa ditutupnya aplikasi Tik Tok ini lantaran banyaknya konten negatif khususnya untuk anak-anak.
Ia menambahkan, “Sebagai aplikasi media sosial yang user generated, [Tik Tok] seharusnya punya mekanisme bagaimana membuat standar konten dan bagaimana mencegah dan menyelesaikan apabila ada konten yang melanggar undang-undang kita,” kata Semuel.
Sementara Kominfo juga sebelumnya telah menghubungi pihak Tik Tok untuk meminta penjelasan, sayangnya belum ada tanggapan.
Keputusan ditutupnya aplikasi yang berasal dari Cina ini tentu saja mengundang reaksi. Ada yang setuju, namun tidak sedikit pihak yang menyayangkannya.
Salah seorang warganet, Derry Al-fiqri menuliskan kicauannya:
“Gua gak setuju TIKTOK diblokir. Kenapa? Karena YouTube, Instagram, Facebook, dan Twitter nggak diblokir pas ada kontent yang yang lebih buruk dari sekadar permasalahan bowo dan goyang dua jari. Mau tanya? Terus fungsi report (melaporkan) buat apa?”
Sementara Menteri Komunikasi dan Informatika ( Menkominfo) Rudiantara kepada Kompas mengatakan bahwa memang banyak yang tidak setuju pada pemblokiran aplikasi ini karena ada juga pengguna yang betul-betul mau berkreasi lewat Tik Tok.
Ia menambahkan, pemblokiran ini sudah terlebih dahulu dikoordinasikan dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak (PPA) dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI).
Bagaimana pandangan Parents tentang hal ini, perlukah aplikasi Tik Tok ini diblokir?
Setelah aplikasi Tik Tok ini diblokir, apakah menjamin anak-anak tidak akan terpapar dengan konten negatif di sosial media, dan terhindar dari cyber bullying?
Apakah kemudian bisa menjamin tidak akan muncul selebritas lain yang dielu-elukan anak remaja seperti Bowo Alpenliebe yang banyak dikhawatirkan orangtua?
Berangkat dari pertanyaan ini, theAsianparent Indonesia menghubungi Nadya Pramesrani, M.Psi., Psikolog dari Rumah Dandelion.
Di awal perbincangan, Nadya mengingatkan kembali bahwa saat ini memang saatnya internet savvy. Artinya orangtua juga perlu banyak belajar dan mengejar zaman, termasuk memahami sosial media serta aplikasi khususnya yang tengah diminati anak.
Tak hanya itu, salah satu yang perlu dipahami orangtua, khususnya yang memiliki anak remaja untuk belajar dan memahami tahapan perkembangan usia anak. Caranya dengan menyadari bahwa usia anak remaja ini mulai senang meningkatkan hubungan sosial di luar keluarga.
“Anak yang masuk usia remaja itu adalah fasenya mereka beralih, orientasi mereka juga tidak lagi banyak di keluarga, tapi banyak di sosial dan pertemanan.”
Maka, tidak mengherankan jika banyak anak remaja yang terlihat memerhatikan dan sering mengikuti segala sesuatu yang sering menjadi trend atau sedang ramai diperbincangkan, termasuk memiliki teladan atau role model. Hal ini juga berlaku dengan kasus banyaknya anak remaja yang terlihat begitu mengidolakan Bowo Alpenliebe.
Terbukti dari adanya beragam status yang dituliskan oleh anak remaja di akun sosial media miliknya. Ada yang mengatakan ingin menjadi malaikat jika Bowo yang menjadi Tuhan, hingga cerita anak remaja yang rela mengambil uang orangtuanya demi bisa foto dan meet and greet dengan Bowo.
Baca juga : Bolehkah anak SD punya akun sosial media?
“Anak-anak itu pada dasarnya belajar dari pengalaman orang lain. Ketika mereka melihat ada orang yang melakukan tindakan A, B atau C maka dia akan meniru. Saat mereka melihat ada teman atau orang lain yang mendapatkan like, love dan kementar banyak di sosial media, mereka juga bisa ikut-ikutan.”
Nadya menambahkan, “Intinya adalah saat anak remaja main sosial media, mendapat like dan komentar banyak maka anak merasa mendapatkan attention. Nah di sinilah yang jangan dilupakan orangtua, bahwa salah satu karakter pola pikir remaja adalah, I am the center of universe.”
Inilah yang menyebabkan anak-anak sering mengeluarkan statement atau menulis status dalam sosial media yang dianggap tidak sopan di sosial media.
Belum lagi dengan isu remaja seperti peer pressure, keinginan untuk bisa diterima di lingkungan atau kelompok tertentu, ditambah lagi perkembangan otak depan anak untuk bisa berpikir logis dan rasional masih dalam tahap perkembangan
“Makanya mereka sering membuat keputusan yang membuat orangtua heran. Kenapa sih dia mesti begitu? Kenapa harus melakukan itu?”
Memiliki anak itu memang punya tantangan tersendiri setiap fasenya. Salah satunya punya anak remaja di zaman sosial media.
“Kenapa? Kita sebagai orangtua banyak yang tidak tidak hidup di zaman digital, internet savvy, sehingga kurang paham hal tersebut boleh atau tidak. Karena clueless, jadi mudah khawatir. Padahal kalau orangtua paham dan bisa mengawasi, tidak perlu khawatir berlebihan,”
Oleh karena itu orangtua perlu satu, bahkan dua tiga langgah di depan anak sehingga bisa paham apa yang sedang tren. Kalau ada yang melenceng bisa menjelaskan, jangan sekadar ikut-ikutan.”
“Jangan lupa tanyakan juga persepsi dan konsep yang dipahami oleh anak itu seperti apa, karena sering kali persepsi orangtua dengan anak itu bisa jauh berbeda. Dengan mengetahui apa yang dipahami anak, orangtua juga belajar. Hasilnya bisa memulai untuk diskusi atau ngobrol secara terbuka.”
Nadya juga menambahkan, “Misalnya, anak senang main Tik Tok dan mengidolakan Bowo. Coba tanya kenapa suka itu? Apa yang dilihat dari Tik Tok dan Bowo. Dari sini orang tua bisa tahu persepsi anak seperti apa. Kemudian membuka diskusi.”
Sebab, meski Tik Tok sudah diblokir tidak menutup kemungkinan ada aplikasi lain semacam Tik Tok yang bermunculan dan disenangi anak-anak.
Jadi, sebisa mungkin selalu mengikuti perkembangan digital ya Bun, dan mempelajarinya. Sehingga saat anak menggandrunginya, Parents juga bisa ikut mengawasi. Hasilnya, bisa mencegah anak terkena efek negatif dari aplikasi tersebut.
Semoga bermanfaat.
Baca juga :
Main tik tok dengan bayi baru lahir, aksi bidan ini membuat geram warganet