Menjadi ibu adalah tugas yang penuh tantangan, banyak ibu yang mengalami kesulitan saat membesarkan anaknya. Lalu, bagaimanakah rasanya menjadi ibu dengan kondisi tidak bisa mendengar atau tuna rungu? Hal ini dialami oleh Angkie Yudistia. Kepada theAsianparent, ibu dua anak ini berbagi kisahnya mengasuh anak dengan kondisi tidak bisa mendengar.
Selama ini, Angkie Yudistia dikenal sebagai seorang CEO yang sukses. Ia membangun perusahaan yang melatih, dan menyalurkan tenaga kerja dari para penyandang disabilitas bernama Thisable Enterprise.
Dia menjadi inspirasi bagi banyak orang karena bisa melampaui keterbatasannya sebagai tuna rungu, dan membantu para penyandang disabilitas memiliki peluang berkarir dan bekerja dengan upah layak.
Selain sukses sebagai CEO, Angkie Yudistia juga memiliki keluarga. Seorang suami, dan dua orang anak. Menjadi ibu dengan kondisi tuna rungu tentunya tidak mudah dijalani.
Lalu bagaimanakah suka duka perempuan berusia 31 tahun ini menjalani perannya sebagai ibu dengan kondisi disabilitas?
Perjuangan Angkie Yudistia menjadi ibu dalam kondisi tuna rungu
Ditemui dalam acara Pantene #SiapaBilangGakBisa pada Agustus lalu, Angkie Yudistia berbagi kisah hidupnya.
Selain suka duka menjadi penyandang disabilitas yang sering dianggap sebelah mata, ia juga berbagi soal menjalani kehidupan sebagai ibu rumah tangga, istri sekaligus ibu bagi anak-anaknya.
“Untungnya, saya dan suami tidak saling menuntut. Jadi saling pengertian saja kalau sama-sama sibuk,” tutur Angkie.
Angkie mengaku, hal paling sulit bagi dirinya dalam menjalani peran sebagai wanita karir sekaligus ibu rumah tangga ialah mengatur manajemen emosi.
“Yang paling sulit itu manajemen emosi. Ketika saya pulang ke rumah, capek ngurus kerjaan, ternyata sampai rumah masih banyak yang harus diurus. Keperluan anak sekolah, kebutuhan suami, dan lain-lain.”
Pada 24 Agustus lalu, lulusan dari London School of Public Relations ini melahirkan anak keduanya, yang diberi nama Kinan. Dia mengaku bahwa persalinan anak kedua ini jauh lebih sulit daripada anak pertama, sehingga dia harus menjalani operasi caesar.
Selain proses pemulihan pasca caesar yang butuh waktu lebih lama, Angkie juga harus menghadapi kenyataan bahwa anak keduanya mengalami masalah pernafasan saat lahir, dan tingkat bilirubin rendah. Sehingga bayi Kinan harus menginap lebih lama di rumah sakit, dan menjalani fisioterapi sinar biru.
Bantuan dari orang sekitar membuat Angkie mampu menjadi ibu tangguh
Menyadari bahwa dirinya memiliki keterbatasan pendengaran, Angkie selalu mengatakan pada orang-orang di sekelilingnya untuk membantunya.
“Saya selalu bilang pada mereka, tolong dibantu kasih tahu saya jika anak saya kenapa-kenapa. Karena pernah terjadi, anak saya menangis di sebelah saya tapi saya tidak tahu karena tak bisa mendengarnya.”
Angkie merasa bersyukur karena dibalik semua keterbatasannya, dia selalu memiliki orang-orang yang mau membantunya melewati semua masa sulit dalam menjalani kehidupan sebagai seorang ibu.
Dia juga berusaha mengatur emosi dengan baik, agar tidak mudah baper saat tidak bisa mendengar bayinya menangis karena sedang tidak memakai alat bantu dengar.
“Telinga saya memang tertutup, tapi pendengaran saya terbuka lewat suami, anak, dan orang-orang di sekitar saya,” papar Angkie.
Kayla, anak pertamanya kini telah berusia 3 tahun, dan ia tumbuh seperti anak normal lainnya. Dia juga menjadi telinga bagi Angkie, yang selalu memberitahu bila ada tamu yang mengetuk pintu, atau menjelaskan pada sang ibu hal-hal yang sedang dibicarakan, dengan kesabaran yang melampaui anak seusianya.
“Kayla kini menjadi telingaku, saya belajar banyak dari anak saya, dia seperti guru bagi saya.”
Meski sering salah paham saat mengobrol bersama anaknya, karena ia sering tidak mendengar dan harus membaca bibir lawan bicara, Angkie tetap menikmati perannya sebagai ibu. Dan bersyukur bahwa hidupnya masih bisa bermanfaat bagi orang lain.
Baca juga:
Setiap Hari, Ayah yang Buta ini Mengantarkan Anaknya Ke Penitipan Anak Naik Kereta