#CurhatTAP: "Anakku 7 Tahun Diajak Bermain Tusuk Bokong oleh Temannya, Apa yang Harus Aku Lakukan?"

Seorang ibu merasa terkejut ketika sang anak menceritakan bahwa ia diajak bermain tusuk bokong dengan temannya. Apa yang harus dilakukan?

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan

Dear CurhatTAP, 

Saya adalah seorang ibu dengan anak laki-laki berusia 7 tahun yang tinggal di sebuah Desa berjarak sekitar 15 km dari Yogyakarta. Mayoritas profesi penduduk di tempat ini adalah petani. Sekalipun penyedia jasa internet masih belum membangun infrastrukturnya ke dalam desa, ada seorang penduduk yang membangun tower sendiri dan saya lihat ia berhasil membawa internet ke rumah-rumah di desa ini dengan harga yang pas di kantong warga, wifi dapat diakses secara terbuka dan gratis di pos kamling.

Sebagai seorang ibu, saya membebaskan anak saya untuk berteman dengan sebayanya di desa ini. Saya sering ingatkan dirinya untuk berhati-hati dengan privilesenya yang dibawa dari kota, jangan sombong, dan selalu mencoba mengerti keterbatasan orang lain. Di tempat ini, tidak semua pernah merasakan berkunjung ke Dukuh Atas seperti para ABG Citayam.

Akhir-akhir ini, saya kerap mendapati anak saya menonton tayangan Youtube atau TikTok secara sembunyi-sembunyi, di pojok yang ia sebut sebagai markas—dibentengi bantal-bantal dan selimut. Saya tidak pernah menyimpan curiga, hingga suatu saat saya iseng melihat search history di kanal youtubenya, yang untung saja, menggunakan surel saya. Sekalipun telah diset dalam mode terbatas, saya masih menemukan pencarian kata “anime tidak pakai petutup nenen”. Antara geli dan cemas, saya mengajak ia bicara setelahnya.

Betul saja, ada temannya yang secara usia lebih tua di Desa tersebut, yang memperlihatkan konten anime bergenre agak echi padanya. Saya mencoba tetap cool seperti Dr. Jean Milburn di film Sex Education, sekaligus mencoba mengingatkan diri sendiri bahwa rasa penasaran seperti ini sangatlah wajar, dan bisa diterima. Lagi pula, jika saya bereaksi secara berlebihan, saya khawatir ia akan enggan untuk bersikap terbuka pada saya di kemudian hari saat ingin membahas isu-isu seputar seksualitas. Jadi, yang kita bahas saat itu hanya sebatas dampak dari belum matangnya otak anak umur 7 tahun untuk menonton konten yang belum sesuai umurnya. Saya juga minta ia membatasi interaksi dengan temannya tadi, yang awalnya saya berikan akses penuh bermain di rumah dan saya proyeksikan menjadi ‘abang besarnya’ di Desa ini. Tak ayal, saya sangat kecewa. Begitu kecewa hingga detik ini saya tak bicara dengannya, bahkan untuk sekadar membahas apa yang ia tunjukkan pada anak saya, dan saya selalu lempar tatapan dingin jika kami berpapasan di jalan.

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan

Dear TAP, saya khawatir ada bagian inner child saya yang merasa takut dan mengambil alih kesadaran dan kewarasan saat menghadapi peristiwa ini. Perasaan tidak aman yang bersumber dari pengalaman berkali-kali mengalami pelecehan seksual sebagai seorang anak. Saya khawatir, saya memproyeksikan rasa takut dan cemas dari bagian diri saya yang meringkuk, tidak berani bercerita kala itu, hanya bisa menangis di kamar mandi.

Terkadang, saya akan menghempasnya agak terlalu kasar, di luar kendali saya, jika dia sedang memeluk saya dari belakang saat saya sedang berbaring tengkurap. Saya sering setengah berteriak “aku nggak nyaman!” yang saya yakin dari mata orang luar akan tampak seperti reaksi berlebihan atau seperti seseorang yang tidak dapat mengendalikan emosinya. Padahal, berada terus-menerus dalam situasi waspada tingkat tinggi (hypervigilance) seperti ini sungguh melelahkan, dan reaksi ini di luar kendali saya.

Tapi, saya juga harus berterima kasih kepada inner child yang ternyata belum sembuh hingga kini (saya yakin ia akan hadir terus bersama saya, mungkin memang sudah saatnya merangkulnya dan mengatakan “tak apa sayang, jika kau mau terus di sana membersamaiku, untuk membuatku lebih bijak menakar risiko”). Dua minggu lalu, saya rasa ia mengirimkan sinyal. Anak saya mulai menunjukkan kembali betapa ia ingin merasa dekat secara fisik, agak terlalu dekat dari biasanya, menimbulkan rasa risih yang membuka percakapan kami.

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan

Lagi-lagi peringatan si inner child yang terluka tidak meleset, tapi saat bicara saya coba si inner child mengalah sebentar, hingga akhirnya saya dapat bertanya dengan nada yang sangat biasa saja, seperti sedang bertanya “tadi belajar apa di sekolah?” saya melayangkan pertanyaan padanya, “emangnya tadi main apa sih, kok jadi nempel-nempel kayak gitu, lho,  kamu?” (sebetulnya saya mau berteriakk setengah gila “risssiiiihhhh….aku nggak bisa, nggak maaauuu, bisa stop nggaaaakkk”).

Ia bercerita, sudah 3 kali anak saya diajak bermain ‘tusuk bokong’ di rumah temannya, saat mereka hanya berdua tanpa pengawasan. “Oh, gitu ya. Emang kalau main tusuk bokong kalian ngapain aja?” (masih dengan nada seperti bertanya “emang fitur minecraft yang baru ada apa aja?”, padahal rasanya sudah nggak karuan ingin minta tolong Kak Seto). Lalu berceritalah ia dengan innocent, temannya (yang kali ini lebih muda setahun darinya!) memintanya untuk mengeluarkan alat vitalnya, lalu ditempelkan pada bokongnya. Pada fase ini saya sudah mau pingsan, tapi lagi-lagi mencoba tetap tenang.

“Tapi nggak sampai masuk, kan?” “ya cuma nempel aja gitu,” jawabnya lugu. Ia tidak tampak terpengaruh secara psikis, ini bagus, saya membatin.

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan

Tentu kalau sudah sampai tindakan seperti ini, sebagai orang tua kita tidak dapat lagi membiarkannya begitu saja. Saya pun memutuskan bicara pada ibu si anak, dengan cara yang sebaik dan sesopan mungkin. Saya pun harus membuka diri bahwa ketika kecil saya pernah mengalami pelecehan, dan saya mencoba sebisa mungkin memisahkan antara intervensi yang berakar dari kecurigaan yang berlebihan, yang mungkin merupakan manifestasi trauma. Karena setting tempat tinggal kami adalah sebuah desa kecil, saya ingin si Ibu memahami bahwa saya tidak memiliki niatan untuk mempermalukan keluarganya. Syukurlah ia mengerti, dan justru berterima kasih sudah diberi tahu, sebagai guru ia sangat paham. Ia pun merasa anaknya juga sama-sama korban. 

Di penghujung percakapan, kami sama-sama merenung “duuhh… mesti gimana ini, ya?” Masalah seksualitas sendiri merupakan hal yang sangat tabu untuk dibahas di Indonesia, ditambah lagi ruang lingkup hidup kami adalah pedesaan Jawa yang cukup konservatif. Yang bisa saya lakukan sejauh ini hanyalah membagikan sumber-sumber referensi mengenai internet ramah anak di grup langganan internet di Desa kami. Selebihnya, saya memastikan bahwa perspektif anak sudah sama dengan kita, ia paham hal ini tidak semestinya menjadi bahan permainan (yang ternyata lintas generasi dan lintas daerah di Indonesia). Untuk sementara, saya minta jika ingin bermain, ajak teman-temannya ke rumah saja, bukan sebaliknya. Selebihnya, saya tidak tahu harus bagaimana…

Apa jawaban psikolog tentang bagaimana cara menghadapi masalah ini? Yuk, simak penjelasan ahli di IG Live @theasianparent_id !

 

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan

Baca juga: 

Mengenalkan Pendidikan Seks bagi Anak dari Usia ke Usia

Perlukah Pendidikan Seks Pada Anak?

Waspadai Wisata Seks Anak Melalui Webcam Online

Loading...
You got lucky! We have no ad to show to you!
Iklan