Perdebatan mengenai pro ASI dan non ASI masih sering terjadi di sekitar kita. Terkadang, perdebatan itu menyinggung pilihan sikap ibu dalam memberi susu pada anaknya. Hal ini dialami oleh Shelley Skuster, seorang jurnalis yang memilih untuk tidak memberi ASI pada bayinya.
Banyak orang mengkritisi pilihan seorang ibu soal ini. Apalagi ada banyak riset yang membuktikan manfaat ASI. Namun, pilihan untuk tidak memberikan ASI pada bayi juga harus dihargai karena masing-masing orang punya alasan khusus sesuai dengan kondisinya masing-masing.
Berikut curhatan Sheiley Skuster yang dimuat dalam laman Parents.
Aku sedang menakar dua sendok susu bubuk ke dalam 100 ml air. Kocok. Kocok.Kocok. TERIAK. Bayi usia empat minggu itu tidak punya kesabaran, terutama di sudut tenang sebuah perpustakaan umum. Sementara kakaknya yang balita sibuk memanjati rak buku, bagaikan artis dengan langkah trapeze yang menjelajah buku demi Daniel Tiger yang belum kami baca. Dengan kain celemek di bahuku, aku memeluk bayiku yang kelaparan di lengan kiriku dan satu tangan lainnya sibuk paksa menutup botolnya. Begitu dot botol plastik itu bertemu mulutnya, rasanya segala hal di perpustakaan yang tenang itu tampak baik-baik saja. Sampai wanita itu yang menatapku, begitulah. Kami sedang duduk di bangku berkarpet dekat area anak-anak dengan boneka dan blok berwarna cerah di antara kami. Lewat kacamata tebal berbingkainya, wanita paruh baya itu memikirkan cara untuk mengusikku, jauh lebih buruk daripada bayiku yang lapar. “Apakah kamu punya masalah dalam hal menyusui?” tanyanya padaku dengan raut wajah mengasihani. Dengan mata lelah, aku menatapnya. Barangkali aku yang salah paham Dia menungguku untuk menanggapinya. “Tidak, aku bahkan tidak pernah mencoba menyusuinya,” kataku. Bersamaan dengan gumamanku, aku melihat puluhan buku berjatuhan dari langit-langit rak. Dua balitaku tampak cekikikan – seperti diberi aba-aba – mereka melemparkan tumpukan novel ke udara bak confetti. Dengan spontan, aku tersentak dari bangku berkarpet sambil mendekap bayiku. Aku tidak punya waktu untuk memberikan perempuan itu penjelasan. Ibu multitasking ini punya banyak kerjaan yang harus diselesaikan. Ketika setiap buku Haiti-Creole, India, dan cerita rakyat Jepang dan berbagai buku dongeng telah dikembalikan dengan rapi ke rak buku masing-masing, aku berjalan kembali ke tempat di mana aku memberikan susu formula pada bayiku dengan penuh rasa malu. Wanita itu – siapa pun dia – sudah pergi. Aku tidak punya kesempatan untuk menjelaskan mengapa aku memilih untuk tidak menyusui anakku. Dan mengapa aku bangga akan hal itu. Aku ingin mengatakan padanya bahwa aku tidak berpikir dua kali untuk menarik putingku dan membusungkan dadaku sesuai dengan permintaan yang ada. Aku tidak berjuang dengan perusahaan asuransi untuk perlindungan ASI atau mencari tahu kapan dan di mana aku bisa memompa ASIku dengan efisien dan nyaman di kantor. Aku tidak repot-repot belanja bra khusus menyusui atau menjelajahi internet demi mencari tips caranya meningkatkan pasokan ASIku. Aku tidak mencari cara untuk meringankan pembengkakan di dada yang penuh dengan “cairanku yang berharga” karena rasa sakit akan pergi begitu saja. Aku tidak membeli setumpuk bantalan menyusui atau krim khusus puting. Aku tidak membuat janji dengan komunitas menyusui setempat atau mengeluarkan biaya untuk konsultasi laktasi demi membantu masalah menyusui atau sekedar menawarkan tips untuk bertahan hidup sepanjang malam karena harus menyusui. Aku tidak khawatir tentang adanya infeksi saluran puting pada tubuhku (mastitis). Aku tidak perlu memompa ASI setiap beberapa jam sekali dan menaruh kantong ASI di kulkas saat masa transisi dari melahirkan hingga ngantor kembali. Aku tidak perlu repot-repot dengan itu semua hanya karena aku tidak menginginkan semua itu. Jadi, untuk perempuan yang tadi berasumsi bahwa aku punya masalah saat menyusui bayiku karena aku memberinya susu formula di botol: aku tidak punya masalah dengan menyusui karena aku bahkan tidak pernah mencoba menyusuinya. Yang terpenting di sini adalah, putriku tetap sehat dan terus berkembang.
Semoga curhatan Shelley Skuster ini membuat kita berhenti untuk menghakimi pilihan seorang ibu dalam memenuhi nutrisi anaknya. Karena setiap orang memiliki pemikiran sendiri-sendiri untuk menyediakan hal yang terbaik untuk anak dan ibunya.