Siang itu, Damiao Sandriano tahu bahwa ibunya sudah lelah bekerja sebagai pemulung. Namun, ia merasa bahwa ibunya harus tetap belajar membaca agar terbebas dari buta huruf.
Sandra adalah seorang wanita asal Jardim Progresso, Natal, Brazil yang masih buta huruf. Saat kecil, ia sempat mengenyam pendidikan. Namun, ia sudah keburu putus sekolah sebelum ia bisa membaca.
Ia hanya sempat diajari sampai alfabet ‘e’ tanpa tahu bagaimana cara merangkainya. Bahkan, ia tak bisa menulis namanya sendiri.
Sampai tua, ia kesulitan membedakan huruf -huruf. Sandra sudah menyerah dalam hal membaca sampai akhirnya sang anak mengajarinya kembali.
“Ini bu, ayo kita baca. Buku ini bagus. Ada gambar-gambarnya juga,” ajak Damiao seperti dikutip dari BBC Latin Amerika.
Sebentar kemudian, Damiao akan sibuk mengajari ibunya mengeja. Ia menggunakan kemiripan antar huruf untuk membantu mengingatkan ibunya soal alfabet.
Misalnya, menyebut huruf “R” yang mirip seperti huruf “B” yang tak sempurna.
Jika ibu yang lain membacakan cerita untuk anaknya, maka kondisi Sandra berbalik. Namun, ia juga memahami bahwa untuk belajar, ia harus menghilangkan rasa malu sehingga ia bersedia jadikan anaknya sendiri guru baginya.
Masa kecil yang menyedihkan
Saat anak yang lain memegang buku dan pensil untuk pergi ke sekolah, Sandra dipaksa bekerja di perkebunan. Ia ditinggalkan oleh ibunya sendiri saat berumur 3 tahun.
Setelah itu, ia dirawat oleh kakek dan neneknya. Alih-alih menyekolahkan ia, kakek nenek justru menyerahkan urusan pengasuhan pada pasangan suami istri pemilik perkebunan.
Di sanalah proses kerja paksa terjadi. Ia hanya bisa memandang iri pada anak-anak yang lewat perkebunan saat akan berangkat sekolah.
Pada usia 12 tahun, ia bertekad untuk mencari ibunya. Akhirnya, ia memutuskan untuk kabur dari perkebunan guna melacak keberadaan ibunya.
Saat sudah menemukan keberadaan ibunya, keadaan tak seperti ia bayangkan. Sang ibu tak mempedulikannya sama sekali seolah lupa bahwa ia punya anak yang merindukan pelukannya.
Pasangan ibunya pun sering memaksanya bekerja dan memukulinya. Kabur dari perkebunan ternyata bukanlah akhir dari penderitaan, ia justru bertemu dengan ‘neraka’ yang baru.
Akhirnya ia memutuskan untuk kabur lagi. Ia tak mungkin kembali ke kakek nenek, apalagi ke perkebunan. Nekat, ia terpaksa hidup sebagai anak jalanan di usia 13 tahun.
Di sanalah ia bertemu dengan seorang lelaki yang menawarinya tempat untuk berteduh dan makanan untuk mengganjal perut. Mereka hidup bersama dan punya tiga orang anak dari hubungan itu.
Namun, hidup tak pernah mudah bagi Sandra. Selama hidup bersama orang yang pernah ia anggap sebagai penyelamat tersebut, tubuhnya penuh luka karena disiksa, bahkan di depan anak-anaknya.
Pada tahun 1996, setelah ia ditusuk dan kepalanya dijambak dengan gigi oleh pasangannya hingga kulit kepalanya mengelupas, ia akhirnya kabur dari rumah membawa tiga orang anaknya.
Ia berjanji pada anak-anaknya untuk tidak membiarkan lelaki manapun untuk memukulinya lagi.
Menikah kembali
Setelah kabur dari rumah tersebut, ia membiayai anak-anaknya dengan bekerja sebagai pemulung. Ia akan mendaur ulang sampah-sampah yang ia pungut untuk dijual kembali.
Ketidakmampuan membaca membuatnya sulit mendapatkan pekerjaan formal. Bahkan, untuk sekedar naik bus saja, ia membutuhkan bantuan orang lain agar dapat membacakan jurusan yang ingin ia tuju.
Di tengah hidupnya yang keras tersebut, ia bertemu dengan lelaki yang akhirnya jadi suaminya. Dari pernikahan itu, ia melahirkan 4 orang anak lagi sehingga total anaknya mencapai 7 orang.
Namun sayang, 3 orang anaknya meninggal karena penyakit yang tidak diketahui asalnya. Satu orang kabur dari rumah. Sehingga tersisa 3 orang anak lainnya. Pernikahannya pun berujung pada perceraian.
Damiao adalah anak terakhirnya. Agar menjalani hidup yang lebih baik darinya, Sandra mengirimkan anaknya ke sekolah. Ia tak ingin anaknya jadi bodoh sepertinya.
Belajar membaca
Suatu hari, Sandra bercerita pada putranya bahwa sebenarnya ia sangat malu karena tidak bisa membaca. Saat itu, usia Damiao masih 3 tahun.
“Suatu hari kalau aku sudah bisa membaca dan menulis, aku akan mengajarimu,” katanya berjanji pada ibunya.
Memasuki usia sekolah, seorang guru mengajari Damiao membaca dan menulis secara intensif. Tak hanya itu, gurunya juga mengenalkannya dengan buku sehingga hal itu menjadi salah satu hobinya.
“Membaca buku dapat membawa kita ke dunia yang lain dan memberikan banyak imajinasi,” jelas Damiao.
Ibunya pun bahagia melihat Damiao bersemangat tiap kali bersekolah. Jika di sekolah ia adalah murid, di rumah, ia akan jadi guru untuk ibunya.
Dengan penuh ketelatenan saat mengajar, sang ibu akhirnya bisa menulis dan membaca. Bahkan, ibunya sudah bisa menandatangani rapor Damiao dengan ejaan namanya sendiri dengan benar.
Kini, di saat usia Damiao sudah 11 tahun, mereka berdua sering membaca bersama dan bahkan sudah menyelesaikan sekitar 107 buku yang kebanyakan ditemukan saat sedang memulung. Namun Damiao belum puas. Ia ingin ibunya benar-benar lancar membaca dan menulis.
Damiao merasa bahwa metode yang efektif dalam mengajari sang ibu melenyapkan buta huruf di dalam dirinya adalah mengaitkannya dengan hati dan perasaan, “aku ingin ibu mempelajari kosa kata yang ia rasakan di dalam hatinya. Ibu senang dengan sesuatu yang menyangkut dengan cinta dan perasaan.”
Ia membantu ibunya untuk menulis sebuah kalimat di tembok dengan huruf kapital dan tinta warna hijau. Tulisan tersebut adalah ‘CANTIHO DA FELICIDADE ONDE HA DEUS NADA FALTARA’ yang berarti ‘kebahagiaan kecil yang diberikan atas berkat Tuhan, tidak ada suatu hal yang hilang di sini.’
Di Brazil, angka buta huruf memang masih terbilang tinggi. Ada sekitar 12,9 juta orang atau 8,3% populasi di atas usia 15 tahun masih berada di bawah bayangan gelap buta huruf.
Kini, dengan kemampuan Sandra dalam membaca dan menulis, setidaknya ia dapat membuat angka tersebut berkurang. Kisah Sandra dan Domiao mengajarkan bahwa siapa saja dapat belajar dan mengajar, tak peduli berapapun usianya.
Baca juga: