Dua tahun sudah berlalu, flashback ke masa yang pernah dilalui kini yang teringat adalah perjuangan yang hebat. Hebatnya diriku ini dengan calon buah hati yang kini sudah besar.
Saat itu, Pandemi Covid-19 melanda, ketakutan akan persalinan dan penyakit yang mewabah itu memaksa kita sebagai ibu hamil untuk hanya berdiam di rumah saja. Saya dan suami menjalani LDM (Rumah tangga jarak jauh) karena tidak ada pilihan. Jika saya melahirkan ikut suami, saya tidak punya keluarga, anak rantauan sebatang kara. Bulan perkiraan lahir saya juga bertabrakan dengan jadwal suami saya untuk Medical Check Up rutin di Jakarta. Bayangkan, jika ketika suami di Jakarta, saya harus melahirkan sendiri tanpa ada keluarga satupun yang menemani. Akhirnya, saya pulang ke rumah orang tua dan menjalani isolasi mandiri karena pelaku berpergian kurang lebih 14 hari. Selama usia kandungan 8 bulan, kami hanya interaksi dengan video call. Suami selalu bilang, “Nak, tunggu papa ya”.
Di usia kandungan mendekati bulan lahir, saya sudah minta maaf kepada suami, doakan saya semoga proses lahirannya lancar. Saya juga tidak punya ekspektasi tinggi, apapun bentuk/rupa anak saya, ia adalah titipan Allah yang tidak semua perempuan bisa mendapatkannya. Begitupun suami saya, juga sudah ikhlas apapun yang terjadi. Kami juga sepakat bahwa di dalam proses persalinan nanti, jika ada kemungkinan terburuk, seperti harus dioperasi, tolong dilakukan meskipun dengan atau tanpa persetujuan saya. Selamatkan anak kami.
Waktu pun berlalu…
Tibalah perjalanan dinas suami ku ke Jakarta, dan mendekati HPL (Hari Perkiraan Lahir), beliau mendarat di Pekanbaru. Sore itu ketika suami mendarat, entah kenapa yang awalnya hanya kontraksi palsu. Durasi, dan jarak sakitnya semakin dekat. Saya memutuskan untuk periksa sudah pembukaan berapa, ternyata setelah diperiksa baru pembukaan satu. Saya memutuskan untuk pulang karena biasanya anak pertama dengan pembukaan satu kadang bisa satu hari (menurut ilmu bidan saya).
Saya pulang, perut saya mules mau BAB. Saya ke kamar mandi mau BAB, tapi suami memaksa untuk buka kamar mandinya, tapi saya bilang saya memang mau BAB. Setelah tuntas BAB saya, saya menuju ke kamar, berbaring saja karena sakitnya begitu rapat, bahkan tarik napas untuk tidak mengejan susah. Saya tidur miring terus agar oksigen bayi yang sedang berjuang bersama saya tidak terhambat. Sakit itu begitu saya nikmati, sambil istigfar. Tidak hanya saya yang sedang berjuang dengan rasa sakit, tapi buah hati kami juga berjuang mencari jalan untuk melihat dunia ini.
Saya teringat video dan kalimat afirmasi yang sering saya dengar, ikhlaskan, maafkan, dan saya berusaha menikmati takdir saya menuju gelar baru sebagai Ibu.
Satu jam dengan rasa sakit, tiba tiba perut ini terasa lega, seperti ada yang turun dari perut ini. Saya cek melalui kaca, ternyata ketubannya sudah di depan. Suami dan keluarga buru-buru menuju faskes tempat kami periksa tadi. Saya terus berusaha tarik napas, sampai akhirnya…
Mengejan pertama, saya merasakan anak saya masih masuk ke dalam kembali.
Mengejan kedua, anak saya lahir ke dunia, kepala, tangannya sudah terasa keluar. Saya girang bahagia, “Sudah keluar, bayinya udah lahir”. Namun belum ada suara. Ternyata saya cek, karena masih tertutup selaput ketuban. Keterbatasan alat, saya membukanya dengan tangan saja. Bayi saya memecahkan keheningan malam itu dengan tangisannya.
Si Kecil Lahir dalam Perjalanan
Ya, bayi saya lahir di tengah perjalanan menuju klinik terdekat. Bayi saya lahir di mobil. Semua yang ada di dalam mobil terlihat panik. Kata suami, “Jadi ini gimana dek?” Iya sudah lahir, ini tangannya, ini kepalanya (Beliau raba). Saya hanya berkata, “Tolong Bantu adek”. Suami bertanya kembali, ” Bantu gimana?”. Saya berkata, “Boleh agak ditarik sedikit saja kayak gendong bayi, biar bokong dan kakinya lahir”. Suami kembali berkata,” Ya Allah, apa ini tidak apa apa? (Sambil menarik anaknya). Saya hanya tersenyum.
Setelah lahir, saya memeluk anak saya di tangan saya sambil menuju ke klinik terdekat☺ Perasaan lega, haru, dan kagum.
Ternyata Allah begitu baik, persalinan saya lancar tanpa bantuan tenaga medis. Afirmasi yang selama ini saya dengar, ternyata membawa berkah. Persalinan nyaman tanpa teriakan kesakitan. Pertanyaannya yang selalu di tanyakan, “Apa tidak merasakan sakit?”. Jawabannya adalah rasa sakit itu ada bahkan rasanya saya nyaris ingin menangis, tapi menurut saya jika saya berteriak atau marah hanya akan menghabiskan energi saya jika dibutuhkan nanti. Yang harus kita lakukan adalah ikhlas menerima rasa sakit. Ingat! Tidak hanya kita yang berjuang, calon buah hati kita juga berjuang di tengah dorongan untuk mencari jalan lahir. Elus perut ibu, katakan, yuk nak berjuang bersama. Mama menantimu.
***
Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.