"Tinggalkan Tradisi Setelah Melahirkan yang Salah," Pesan Seorang Ibu
Tradisi yang tak patut ditiru apalagi diturunkan secara turun menurun.
Inilah pengalamanku yang bikin geleng-geleng kepala!!! Kisah yang bermula ketika saya masih saja menjalankan tradisi setelah melahirkan yang salah.
Kisah ini tentu saja dimulai pada saat saya hamil anak pertama. Ketika itu, saya dan suami memang masih tinggak satu atap dengan orang tua Singkat cerita, saya sudah lahiran dengan proses normal di rumah bidan. Bonusnya, saya mendapatkan jahitan obras, hahahaha.
Bahagia. Bayiku lahir selamat dengan jenis kelamin laki-laki, dengan berat badan 4 kg, panjang 50 cm.
Menurut bidan, tidak ada pantangan untuk makan. Selama makanannya sehat, silakan saja dikonsumsi, begitu katanya. Terutama makanan yang mengandung protein tinggi, agar luka jahitan segera pulih. Bidan pun mengingatkan agar saya tidak perlu menggunakan stagen terlalu kencang, cukup pake gurita aja.
Harus Mengikuti Tradisi Setelah Melahirkan yang Salah
Saat tiba di rumah, ibuku bilang bahwa bayiku mau dimandikan olehnya, jadi tidak perlu panggil perawat buat mandikan. Mengingat ibuku sudah berpengalaman, akhirnya aku percaya sepenuhnya.
Sesampainya di rumah, ibu melarangku makan sembarangan. Sama seperti ibuku, mungkin tidak sedikit orang tua yang memberikan petuah pada anaknya yang baru melahirkan. Padahal nyatanya hal tersebut merupakan tradisi setelah melahirkan yang salah.
Menurutnya, saya harus makan nasi, tahu dan bawang goreng saja. Tidak boleh mengonsumsi makanan berkuah. Sebab, menurut ibu, makanan seperti ini hanya membuat jahitanku tidak cepat kering. Selain itu, beliau juga terus berpesan kalau saya harus pake stagen yang kuat sekali agar tubuh kembali baik.
Lagi-lagi, tradisi setelah melahirkan yang salah.
Tapi ketika itu saya hanya bisa mengitu petuah beliau. Padahal, duh, rasanya sakit di perut dan bikin mati rasa di area paha. Hanya itu tradisi kehamilan yang salah yang perlu saya lakukan? Tentu saja tidak. Saya pun diminta untuk tidur dengan posisi hampir duduk, kaki diikat. Biar lurus, katanya.
Dalam hati saya pun membatin, ‘Duh, apakah proses setelah melahirkan harus menyakitkan seperti ini? Tidak nyaman sekali!’.
Tapi, sebagai ibu baru, saya pun akhirnya mengikuti permintaan ibu. Percaya kalau memang ibu memiliki pengalaman yang jauh lebih banyak.
Hari-hari dilewati dengan mengikuti petuah dari ibu. Hingga setelah seminggu pascamelahirkan, saya pun kontrol ke bidan.
Bukannya kabar baik, justru saya dibuat terkejut dengan penjelasan bidan yang mengatakan kalau jahitan saya belum kering. Melihat kondisiku, bidan pun kaget. Ia pun marah, dan mengatakan kenapa saya menggunakan stagen terlalu kencang?
Kenapa tidak mengikuti informasi yang ia berikan? Mengapa di era masa kini di mana segala informasi lebih mudah didapatkan tapi masih saja melakukan tradisi setelah melahirkan yang salah?
Sebelum saya mencoba menjelaskan, nyatanya bidan sudah tahu apa yang terjadi. Ia bisa menebak jika kondisi yang saya alami akibat orang tua.
“Pasti banyak pantangan ini itu, ya?” tanyanya.
“Iya, ini perintah ibu. Karena kalau dilanggar dia marah nggak jelas,” aku langsung menjawab pertanyaan bidan.
Tak Perlu Ragu Tinggalkan Petuah atau Tradisi Setelah melahirkan yang Salah
Akhirnya bidan menegaskan untuk mematuhi perintahnya, kalau ingin segera pulih dan sehat.
Ketika itu bidan juga menjelaskan ke suamiku agar memerhatikan asupan makanan sehari-hari istrinya. Bahkan, Bidan sampai meminta suami untuk menbelikan aku lauk di luar aja, kalau perlu makannya sembunyi-sembunyi tidak menimbulkan jadi masalah.
Tentang stagen, saya pun tidak boleh memakainya. Bukannya mengembalikan bentuk tubuh atau area perut seperti sebelum hamil, justru sangat berisiko. Bidan mengatakan kalau tindakan tersebut justru menghambat peredaran darah, jadi sebenarnya menggunakan gurita saja sudah cukup.
Sesampainya di rumah, saya pun menjelaskan pada ibu, pesan dan saran yang dikatakan bidan. Seperti dugaan saya sebelumnya, pada awalnya ibu tidak menerima. Syukurnya, lambat laun, beliau bisa menerima. Yah, mungkin bisa menerima tapi seperti terpaksa.
Hingga pada saat tali pusat anakku puput, masalah baru pun muncul. 3 Hari pasca puput, pusatnya kayak mrnonjol keluar. Akhirnya aku pun mencoba untuk mencari tahu apakah hal tersebut wajar terjadi? Ternyata memang umum dialami. Nanti pun akan baik dengan sendirinya, namun tidak disarankan untuk sering disentuh atau ditekan,
“Okelah berarti dikasih kasa steril saja seperti biasanya,” batinku.
Ibuku Masih Saja Melakukan Tradisi Setelah Melahirkan yang Salah, Termasuk Saat Merawat Bayi
Tapi apa yang terjadi saat ibu memandikan anakku? Pusatnya ditekan dan dikasih koin 500 perak sambil ditekan dan diikat dengan guritanya yang kuat. Katanya, “Cara ini biar mencegah agar anakku tidak bodong, ini tradisi.”
Melihat tindakan ibu, saya pun emosi namun berusaha untuk bisa mengendalikan dan tenang. Berusaha ingat, biar bagaimana ia tetap ibu yang telah membantu mengurus anakku karena suamiku harus kerja.
Hanya saja saat membayangkan uang koin yang sudah dipegang banyak orang, kondisi uang yang kotor, membuat saya semakin kesal.
Setelah semua slesai, saya pun langsung ambil alih anakku, dan aku bilang mau nyusuin dia dikamar, ku tutup deh pintu kamar, langsung ku bongkar dan ku ambil uangnya.
Saya sudah maklumi orang tua banyak yang masih terikat tradisi.
Termasuk yang suka sembunyi-sembunyi memberikan MPASI dini pada cucunya. Suka kesal dengan tindakan seperti ini. Tapi mau gimana lagi? Dilema.
Untung masalah MPASI dini tidak sampai dilakukan oleh ibuku. Saya pun sudah mencoba menjelaskan tentang dampak buruk tradisi setelah melahirkan yang salah justru bisa berakibat buruk terhadap kesehatan.
Tentunya dengan bantuan Bu Bidan juga. Saya meminta bantuan agar Bu Bidan menjelaskan langsung ke Ibu.
Pengalaman adalah Guru Terbaik Bagi Kehidupan
Alhamdulillah dari pengalamanku ini, banyak pelajaran yang bisa dipetik.
Jadi saat hamil anak kedua, saya dan suami memutuskan untuk pisah rumah. Ngontrak. Toh, saya dan suami sudah banyak belajar tata cara mengurus bayi dari baru lahir. Langkah ini pun kami lakukan demi menghindari tradisi aneh-aneh yang nyatanya masih banyak dipercaya.
Saya pun merasakan banyak perbedaan pasca lahiran anak pertama dan kedua. Dibandingkan dengan anak pertama yang proses penyembuhannya cenderung lebih lama, kini saya sudah bisa aktivitas normal. Bahkan bisa nyetir motor ke mana-mana sendiri bisa disaat anak kedua umur 7 hari.
Jahitanku juga cepat sembuh, aku juga makan sesuka hati selama itu sehat dan tidak berlebihan.
Lewat pengalaman yang saya alami ini, saya ingin memberikan sedikit saran bagi seluruh calon atau orangtua baru untuk tidak perlu takut meninggalkan tradisi lama yang sebenarnya tidak memiliki manfaat, bahkan justru bisa membahayakan.
Jangan ragu untuk konsultasi dengan ahlinya jika terjadi sesuatu yang tidak kita pahami. Jika memang berbeda pendapat dengan oran tua, termasuk mertua, tak ada salahnya untuk mengajak ikut menderngarkan saat melakukan konsultasi dengan dokter anak atau bidan. Harapannya, cara ini bisa mencegah terjadinya konflik atau dianggap sok tahu.
Ini secercah cerita pengalamanku. Bagaimana dengan teman-teman yang lain, apakah pernah memiliki pengalaman serupa, tidak melakukan tradisi setelah melahirkan yang salah yang justru bisa membahayakan bagi ibu atau pun bayi?
Ditulis oleh Qoriatul Hidayah