X
theAsianparent Indonesia Logo
theAsianparent Indonesia Logo
kemendikbud logo
  • Hidrasi Keluarga
  • Cari nama bayi
  • Perawatan Ibu dan Bayi
  • Rangkaian Edukasi
    • Pengasuhan Anak
    • Edukasi Prasekolah
    • Edukasi Sekolah Dasar
    • Edukasi Remaja
  • TAPpedia
  • TAP Rekomendasi
    • Korea Update
  • Kehamilan
    • Kalkulator perkiraan kelahiran
    • Aku Hamil
    • Tips Kehamilan
    • Melahirkan
    • Menyusui
    • Kehilangan bayi
    • Trimester Pertama
    • Trimester Kedua
    • Trimester Ketiga
    • Project Sidekicks
  • Tumbuh Kembang
    • Bayi
    • Balita
    • Prasekolah
    • Usia Sekolah
    • Praremaja
  • Parenting
    • Keluarga
    • Pernikahan
    • Seks
    • Berita Terkini
  • Kesehatan
    • COVID-19
    • Info Sehat
    • Penyakit
    • Vaksinasi
    • Kebugaran
  • Gaya Hidup
    • Korea Update
    • Hiburan
    • Travel
    • Fashion
    • Kebudayaan
    • Kecantikan
    • Keuangan
    • Marvelous Asian Mums Special 2021
  • Nutrisi
    • Resep
    • Makanan & Minuman
    • Sarapan Bergizi
  • Videos
    • Kata Pakar Parenting
    • Plesiran Ramah Anak
    • Pilihan Parents
    • Kisah Keluarga
    • Kesehatan
    • Kehamilan
    • Event
    • Tumbuh Kembang
  • Belanja
  • Ayah manTAP!
    • Kesehatan Ayah
    • Kehidupan Ayah
    • Aktivitas Ayah
    • Hobi
  • VIP

Stockholm Syndrome, Sikap Korban yang Malah Membela Pelaku Kejahatan

Bacaan 4 menit
Stockholm Syndrome, Sikap Korban yang Malah Membela Pelaku KejahatanStockholm Syndrome, Sikap Korban yang Malah Membela Pelaku Kejahatan

Kenali Stockholm Syndrome di sini

Sudah dijahatin, kok, malah bersimpati bahkan membela pelaku. Ini aneh tapi nyata! Jika Parents melihat seseorang berperilaku demikian, bisa jadi itu pertanda Stockholm syndrome.

Stockholm syndrome atau sindrom Stockholm adalah respons psikologis pada korban penculikan atau penyanderaan ketika mereka memiliki perasaan positif seperti simpati atau jadi timbul kasih sayang terhadap pelaku.

Kisah tentang sindrom Stockholm salah satunya bisa kita tonton dari serial Netflix berjudul Inventing Anna. Diceritakan, Anna Delvey adalah sosok yang cerdas dan kharismatik.

Dengan kelebihan tersebut, Anna berhasil masuk kalangan sosialita di New York. Namun ia menipu dengan mengaku sebagai orang kaya dari Jerman, kemudian memanipulasi orang-orang di lingkarannya.

Para sosialita yang menjadi sahabat Anna itu, tentu tak menyadari bahwa mereka sedang dimanipulasi. Bahkan ketika perilaku Anna sudah melampaui batas, mereka justru bersimpati dan tetap membela Anna.

Misalnya yaitu ketika Anna gagal bayar hotel di Maroko sebesar $62.000 dan nunggak tagihan kartu kredit perusahaan Rachel selama tiga bulan, yang bikin Rachel terancam di-PHK. Sudah begitu, Rachel tetap berpikiran positif pada Anna.

Nah, sikap dan reaksi positif pada pelaku manipulasi atau aktor kejahatan itulah yang kita sebut sindrom Stockholm. Kisah dalam serial Inventing Anna tersebut hanya sebagai contoh. Tentunya di kehidupan nyata, bentuk kasus sindrom Stockholm bisa lebih beragam.

Artikel terkait: A-Z Retardasi Mental, Dulu Dikenal Sebagai ‘Keterbelakangan Mental’

Stockholm Syndrome, Sikap Korban yang Membela Pelaku Kejahatan

Stockholm Syndrome, Sikap Korban yang Malah Membela Pelaku Kejahatan

Terkadang orang-orang yang diculik atau disandera selama beberapa lama bisa memiliki perasaan simpati atau perasaan positif lainnya terhadap si penculik. 

Apalagi jika penculikan terjadi selama berhari-hari, berminggu-minggu, atau bahkan berbulan-bulan. Dalam rentang waktu tersebut, antara pelaku dan korban bisa timbul ikatan karena melakukan kontak dekat.

Seseorang yang memiliki sindrom Stockholm mungkin melahirkan perasaan yang membingungkan bagi pelaku. Perasaan dan sikap positif yang muncul bisa berupa: cinta dan kasih sayang, simpati, empati, bahkan keinginan untuk membela dan melindungi pelaku.

Selain itu, sindrom Stockholm juga dapat menyebabkan korban mengembangkan sudut pandang negatif terhadap polisi atau siapa pun yang mencoba menyelamatkannya. Uniknya lagi, korban juga bisa membantu membayar pengacara setelah si pelaku ditangkap.

Artikel terkait: Jangan Asal Pilih, Ini 3 Jenis Tes Kesehatan Mental dengan Hasil Akurat

Mengapa Terjadi Stockholm Syndrome?

Stockholm Syndrome, Sikap Korban yang Malah Membela Pelaku Kejahatan

Istilah sindrom Stockholm pertama kali dikenalkan pada 1973 oleh Nils Bejerot, seorang kriminolog di Stockholm, Swedia. Mengutip WebMD, Bejerot menggunakan istilah itu untuk menjelaskan reaksi tak terduga para sandera serangan bank terhadap penculik mereka.

Mengapa beberapa orang memiliki sindrom Stockholm? Jawabannya, belum diketahui secara pasti. Namun, itu dianggap sebagai mekanisme bertahan hidup. Seorang korban penculikan mungkin menciptakan ikatan ini sebagai cara untuk mengatasi situasi ekstrem dan menakutkan yang sedang dihadapinya.

Beberapa hal yang meningkatkan kemungkinan seseorang memiliki sindrom Stockholm, di antaranya:

- Korban berada dalam situasi yang penuh emosi untuk waktu yang lama.
- Korban berada di ruangan bersama penyandera dengan kondisi yang buruk, misalnya tidak punya cukup makanan, ruangan yang tidak nyaman.
- Ketika korban atau sandera bergantung pada penyandera untuk memenuhi kebutuhan dasar.
- Ketika ancaman dari pelaku tidak jadi dilakukan. Misalnya ancaman eksekusi palsu.

Dalam kasus penculikan, korban mungkin mengalami pelecehan dan diancam oleh pelaku. Namun, tetap saja ada interaksi di antara mereka. Jika pelaku menunjukkan sikap yang baik, terlebih berusaha memenuhi kebutuhan dasar korban, sindrom Stockholm alias perasaan positif pada pelaku sangat mungkin untuk muncul.

Sindrom Stockholm dapat pula terjadi pada bentuk hubungan yang lain, bukan hanya antar korban dan pelaku penculikan. Relasi pertemanan, keluarga, dan profesional pun bisa muncul sindrom ini.

Artikel terkait: Penuh Perjuangan, Ini Cerita 7 Artis yang Mengalami Gangguan Mental

Saran Jika Mengalami Sindrom Stockholm

Stockholm Syndrome, Sikap Korban yang Malah Membela Pelaku Kejahatan

Yang dapat kita lakukan apabila memiliki sindrom Stockholm atau mengenal seseorang yang mungkin mengalaminya, kita dapat melakukan beberapa hal.

Pertama, cobalah untuk belajar mengenali pola manipulasi yang dilakukan. Terkadang manipulasi bisa sulit untuk diidentifikasi, karenanya gunakan insting untuk mengenalinya.

Kedua, jangan segan untuk membuat batasan diri dan cari teman yang tulus.

Ketiga, konsultasi dengan terapis juga bisa membantu untuk mengetahui mengapa Anda mengembangkan sindrom Stockholm.

Semoga bermanfaat!

***

Cerita mitra kami
5 Pertimbangan Memilih Mainan Edukasi untuk Si Kecil
5 Pertimbangan Memilih Mainan Edukasi untuk Si Kecil
Penuhi Semua Kebutuhan Perempuan di Tokopedia Cantik Fest! Lengkap dan Banyak Kejutan Promo!
Penuhi Semua Kebutuhan Perempuan di Tokopedia Cantik Fest! Lengkap dan Banyak Kejutan Promo!
Sensitif dan Rentan, Ini Cara Melindungi Kulit Bayi Agar Tetap Sehat
Sensitif dan Rentan, Ini Cara Melindungi Kulit Bayi Agar Tetap Sehat
Rasa Baru yang Asyik, Bikin Si Kecil Lahap Menghabiskan MPASI-nya
Rasa Baru yang Asyik, Bikin Si Kecil Lahap Menghabiskan MPASI-nya

What Is Stockholm Syndrome?

www.webmd.com/mental-health/what-is-stockholm-syndrome 

 

Baca juga:

id.theasianparent.com/mental-health-gym

id.theasianparent.com/demi-kesehatan-mental-anak-jangan-lakukan-hal-ini

id.theasianparent.com/chromotherapy-atau-terapi-warna

Parenting bikin pusing? Yuk tanya langsung dan dapatkan jawabannya dari sesama Parents dan juga expert di app theAsianparent! Tersedia di iOS dan Android.

img
Penulis

alikarukhan

Diedit oleh:

Aulia Trisna

  • Halaman Depan
  • /
  • TAPpedia
  • /
  • Stockholm Syndrome, Sikap Korban yang Malah Membela Pelaku Kejahatan
Bagikan:
  • Mengenal Ergophobia, Ketakutan pada Pekerjaan yang Harus Segera Diatasi!

    Mengenal Ergophobia, Ketakutan pada Pekerjaan yang Harus Segera Diatasi!

  • Sering Pura-Pura Bahagia? Awas Gejala Gangguan Psikologis Duck Syndrome

    Sering Pura-Pura Bahagia? Awas Gejala Gangguan Psikologis Duck Syndrome

  • Trauma Karier Bikin Sulit Maju, Jangan Abaikan Gejalanya! 

    Trauma Karier Bikin Sulit Maju, Jangan Abaikan Gejalanya! 

app info
get app banner
  • Mengenal Ergophobia, Ketakutan pada Pekerjaan yang Harus Segera Diatasi!

    Mengenal Ergophobia, Ketakutan pada Pekerjaan yang Harus Segera Diatasi!

  • Sering Pura-Pura Bahagia? Awas Gejala Gangguan Psikologis Duck Syndrome

    Sering Pura-Pura Bahagia? Awas Gejala Gangguan Psikologis Duck Syndrome

  • Trauma Karier Bikin Sulit Maju, Jangan Abaikan Gejalanya! 

    Trauma Karier Bikin Sulit Maju, Jangan Abaikan Gejalanya! 

Daftarkan email Anda sekarang untuk tahu apa kata para ahli di artikel kami!
  • Kehamilan
    • Tips Kehamilan
    • Trimester Pertama
    • Trimester Kedua
    • Trimester Ketiga
    • Melahirkan
    • Menyusui
  • Tumbuh Kembang
    • Bayi
    • Balita
    • Prasekolah
    • Praremaja
    • Usia Sekolah
  • Parenting
    • Pernikahan
    • Berita Terkini
    • Seks
    • Keluarga
  • Kesehatan
    • Penyakit
    • Info Sehat
    • Vaksinasi
    • Kebugaran
  • Gaya Hidup
    • Keuangan
    • Travel
    • Fashion
    • Hiburan
    • Kecantikan
    • Kebudayaan
  • Lainnya
    • TAP Komuniti
    • Beriklan Dengan Kami
    • Hubungi Kami
    • Jadilah Kontributor Kami
    • Tag Kesehatan


  • Singapore flag Singapore
  • Thailand flag Thailand
  • Indonesia flag Indonesia
  • Philippines flag Philippines
  • Malaysia flag Malaysia
  • Sri-Lanka flag Sri Lanka
  • India flag India
  • Vietnam flag Vietnam
  • Australia flag Australia
  • Japan flag Japan
  • Nigeria flag Nigeria
  • Kenya flag Kenya
© Copyright theAsianparent 2022. All rights reserved
Tentang Kami|Tim Kami|Kebijakan Privasi|Syarat dan Ketentuan |Peta situs
  • Fitur
  • Artikel
  • Beranda
  • Jajak

Kami menggunakan cookie agar Anda mendapatkan pengalaman terbaik. Pelajari LagiOke, Mengerti

Kami menggunakan cookie agar Anda mendapatkan pengalaman terbaik. Pelajari LagiOke, Mengerti

theAsianparent heart icon
Kami ingin mengirimkan Anda informasi terbaru seputar gaya hidup.