Pengalaman Melahirkan di Ambulans yang Tak Terlupakan
Aku tak menduga akan merasakan pengalaman melahirkan yang begitu menegangkan sekaligus tak terlupakan, yaitu melahirkan anak di dalam mobil ambulans.
Pengalaman melahirkan yang dialami seorang ibu tidak selalu sama. Ada kalanya sangat unik dan tak terbayangkan. Begitu juga pengalaman melahirkan putri kedua kami, Winadya Arizona Girsang.
Tak jauh berbeda dengan pengalaman pertama, kehamilan kedua ini juga kujalani dengan rasa bahagia. Sepanjang masa kehamilan aku tak pernah mengalami kesulitan. Aku tak mengalami gejala mual-mual dan masa mengidam yang parah.
Aku bisa menyantap makanan apa saja yang kusukai, serta bebas beraktivitas. Lucunya, aku lebih cenderung jadi pembersih. Bagian dalam rumah hingga pekarangan menjadi sasaran operasi bersihku.
Hingga tibalah masanya hendak melahirkan… Sejak malam harinya aku sudah merasakan adanya gejala tak biasa dalam tubuhku.
Ada perasaan aneh yang membuatku yakin, bahwa aku akan melahirkan dalam waktu dekat. Entah malam itu juga, atau keesokan harinya.
Masih sempat memasak sebelum melahirkan
Sayangnya saat itu suamiku tidak bisa meninggalkan tugas dinas jaga malamnya. Namun ia berjanji akan mengunjungiku sesering mungkin.
Mau tak mau harus menerima kondisi tersebut. Sebagai istri seorang tentara, aku tidak boleh mementingkan kepentingan diri sendiri di atas kepentingan negara.
Malam itu berlalu begitu saja, hingga akhirnya suami pulang pada pukul 05.00. Lelah berjaga semalaman membuat suamiku langsung tertidur begitu tiba di rumah. Tepat pada saat itu pula, aku mulai merasakan kontraksi yang pertama.
Kubangunkan suamiku yang baru saja tidur. Tapi ia malah menyuruhku tidur kembali untuk meredakan sakit yang bersumber dari perutku.
Kujelaskan bahwa sakit perut yang kualami bukan sakit perut biasa, melainkan tanda-tanda akan melahirkan.
Suamiku masih tak kuasa menahan kantuk yang menyerangnya. Meskipun merasa gemas, aku memahami kondisinya. Lagi pula, kontraksi yang kurasakan baru muncul sesekali.
Sambil menunggu suamiku tidur, aku memutuskan untuk memasak bubur kacang hijau, makanan kesukaan anak sulungku yang ketika itu baru berusia 16 bulan.
Tepat pukul 05.30 suamiku bangun. Bergegas ia mengurus surat jalan ambulans dan mencari sopir untuk mengantarku ke rumah sakit.
Jarak antara rumah dinas yang kami tempati dan rumah sakit rujukan di kota propinsi lumayan jauh. Maklum, tempat tinggal kami jauh di luar kota.
Pukul 07.00 pagi, ketika ambulans datang, bubur telah matang. Aku pun sudah selesai sarapan bubur dan menyiapkan bekal sarapan untuk suami serta menyiapkan perlengkapan bersalin.
Usai menitipkan anak pada saudara dan tetangga kompleks perumahan, kami pun berangkat menuju rumah sakit.
Baru saja ambulans bergerak 500 meter, perasaan tidak nyaman kembali muncul. Aku segera meminta supir untuk berhenti dan pindah ke bagian belakang mobil ditemani suami.
Belum separuh perjalanan menuju rumah sakit, tiba-tiba ketubanku pecah. Aku pun mengalami kontraksi hebat. Kepanikan pun terjadi. Suami segera memerintahkan supir untuk berhenti di rumah sakit terdekat.
Sopir menyalakan sirene ambulans dan melajukan mobil dengan sangat cepat. Suasana terasa amat menegangkan.
Aku hampir kehilangan kesadaran
Kontraksi yang kurasakan semakin sering dan menyakitkan. Aku meminta suamiku untuk segera mempersiapkan kelahiran dengan memasang alas tidur, membantuku memakai kain sarung dan meletakkan kain di tangannya. Aku merasa bayiku akan segera lahir sebelum tiba di rumah sakit.
Setiap kali kontraksi muncul, aku hanya bisa diam menahan sakit. Bernapas pun kulakukan dengan amat pelan dan hati-hati.
Aku khawatir bila terlalu banyak bergerak, bayiku akan keluar begitu saja. Aku tak ingin melahirkan dalam perjalanan, apalagi dalam mobil ambulans!
Herannya, setiap kali kontraksi itu menghilang, aku diserang rasa lelah dan kantuk yang luar biasa. Ingin rasanya tidur untuk meredakan nyeri yang menyerangku secara bertubi-tubi.
Untung saja suami selalu mengajakku bicara, sehingga aku tak pernah kehilangan kesadaran.
Perjalanan itu terasa sangat lama. Rupanya sopir tetap melanjutkan perjalanan ke rumah sakit propinsi. Suamiku tahu, tapi ia diam saja. Setiap kali kutanya, suamiku selalu berdalih satu tikungan lagi kami akan sampai.
Suatu kali sebuah plang tanpa sengaja terbaca olehku, dan aku pun marah besar ketika mengetahui jarak rumah sakit masih sangat jauh. Akhirnya, kami sampai juga di rumah sakit rujukan di propinsi, sebuah rumah sakit khusus tentara.
Aku merasa sedikit lega. Namun sayangnya, sopir yang membawaku tidak memiliki pengalaman mengantar orang melahirkan. Ia tidak langsung membawa kami menuju klinik bersalin, melainkan menuju bagian pendaftaran.
Akhirnya petugas menyuruhnya segera membawa ambulans langsung ke klinik bersalin. Tanpa membuang waktu, ia langsung memutar arah mobil ambulans menuju klinik bersalin yang berlokasi tak jauh dari tempat pendaftaran.
Pengalaman melahirkan tanpa bantuan bidan
Tepat ketika mesin ambulans dimatikan, suara tangis bayi pun pecah. Aku tak sanggup lagi menahan kontraksi yang begitu hebat.
Dengan gemetar suamiku menangkap bayi merah, buah hatinya dengan kedua tangannya. Wajahnya tampak pucat karena peristiwa yang tak pernah dibayangkannya.
Tangisan bayi kami sontak membuat orang-orang yang berada di sekitar menjadi heboh. Sopir dengan panik berlari meminta bantuan pada perawat di dalam klinik, yang kebetulan pada saat itu tengah membantu proses kelahiran pasien lainnya.
Tak lama kemudian bidan dan para perawat segera datang untuk menanganiku. Bidan mengeluarkan ari-ari dan membersihkan seperlunya.
Lalu ia meminta suamiku untuk mengikutinya sambil membawa bayi kami ke dalam klinik. Dengan wajah pucat dan bingung suamiku mengikuti bidan dan meninggalkan aku ditemani para perawat laki-laki.
Sementara itu, rasa malu yang mengepung membuatku berusaha untuk bangkit dan berjalan. Tindakanku ini tentu saja mengundang teguran dari perawat.
Aku terpaksa membiarkan perawat-perawat itu mengangkat tubuhku dan membawaku menuju ruang perawatan dalam klinik bersalin tersebut.
Begitulah pengalaman melahirkan unik yang kualami 8 tahun silam.
Kisah ini merupakan pengalaman nyata yang dituturkan Lena Helena Rumahorbo kepada theAsianParent Indonesia. Terima kasih ya Bu Lena!