7 Upaya Memulihkan Rasa Duka Setelah Stillbirth, Jangan Ragu Melakukannya!
Stillbirth kerap dianggap tabu untuk dibicarakan. Padahal, ibu yang mengalaminya butuh dukungan untuk memulihkan mental setelah stillbirth.
Memulihkan mental setelah stillbirth memang perlu dilakukan dengan tepat. Pasalnya, apa yang dialami tentu bukanlah hal yang mudah. Dengan dukungan yang tepat, maka proses penyembuhan duka yang dialami sang ibu bisa menjadi lebih cepat.
Dari tahun ke tahun ada banyak pasangan yang harus mengalami hal berat kehilangan calon buah hati mereka karena stillbirth. Namun, seringkali, para ahli medis tidak dapat menentukan penyebab khusus dari stillbirth itu sendiri.
Hal ini pun semakin menambah kebingungan para orangtua. Selain mereka harus berjuang menghadapi rasa kehilangan akibat stillbirth, dukungan mental dari lingkungan sekitar akibat mengalami stillbirth pun terasa masih kurang.
Lalu, apa yang harus dilakukan agar keluarga atau kerabat terdekat dapat membantu seseorang memulihkan mental setelah mengalami stillbirth?
Artikel Terkait: Walau Sulit, Ini 3 Cara Menjelaskan Stillbirth yang Bunda Alami kepada Kerabat
7 Upaya Memulihkan Mental Setelah Stillbirth
Berikut ini beberapa cara yang bisa kita lakukan untuk membantu ibu memulihkan mentalnya pasca mengalami stillbirth (lahir mati):
1. Jangan Biarkan Ibu yang Mengalami Stillbirth Menyalahkan Diri Sendiri
Konselor dan psikoterapis Silvia Wetherell menyoroti bagaimana perempuan cenderung menyalahkan diri sendiri setelah mengalami stillbirth.
“Menyalahkan diri sendiri bisa berubah menjadi rasa malu. Dan setiap kali ada rasa malu, ada keheningan,” kata Silvia.
Menyalahkan diri sendiri atas apa yang telah terjadi bukanlah hal yang tepat. Silvia menjelaskan, rasa bersalah bisa menjadi tidak rasional. Pikiran-pikiran semacam itu hanya akan membuat sang ibu semakin tertekan dan tak kunjung bangkit.
Menurut Silvia, seharusnya orangtua yang berduka akibat stillbirth bisa berpikir lebih rasional, “Pasti ada penyebabnya.”
“Jadi, jika dokter tidak memberi tahu apa yang terjadi, mereka hanya mengatakan bahwa hal-hal ini terjadi begitu saja, kita tidak tahu,” ujarnya.
2. Pahami Rasa Sakit Secara Mental dan Fisik yang Dialami
Menurut Silvia, ibu yang mengalami stillbirth dan menjalani proses persalinan normal, bisa terasa sangat menyakitkan, karena ia pun harus diinduksi. Kondisi ini tentu bukanlah hal yang sudah mereka persiapkan dari jauh hari sebelumnya.
“Jadi mereka tidak hanya berduka, mereka tahu bahwa mereka akan melahirkan bayi yang sudah mati. Mereka sangat kesakitan. Mereka tidak mendapatkan tingkat dukungan yang sama seperti jika mereka melahirkan bayi hidup,” pungkas Silvia.
Inilah yang perlu dipahami orang-orang di sekitar ibu yang mengalami stillbirth. Apa yang dilaluinya tentu sangat memilukan. Selain karena sang ibu harus rela melahirkan bayi yang sudah tak bernyawa lagi, ia juga harus mengalami kesakitan saat proses persalinan berlangsung.
Tidak hanya luka secara mental, tetapi juga luka fisik yang dialami.
3. Berikan Ruang untuk Melalui Masa Berduka
Membicarakan stillbirth masih dianggap “sangat tabu” di Asia Tenggara. Sementara di beberapa kawasan lain di dunia, pembicaraan ini bisa diterima dengan lebih terbuka.
“Ada persepsi bahwa membicarakan stillbirth akan menyebabkan lebih banyak kesusahan bagi ibu, bagi orangtua, atau akan membawa nasib buruk bagi keluarga,” kata Silvia.
Silvia melanjutkan, sebaiknya pasangan yang mengalami stillbirth tidak ragu membicarakan apa yang mereka alami. Katakan kalau membutuhkan dukungan yang besar dari lingkungannya, dimulai dari para tenaga medis dan keluarga.
“Cara agar dokter dapat terlibat dalam hal ini adalah dengan membuat ibu yang mengalami stillbirth merasa benar-benar dipahami dan meyakinkannya bisa menjawab berbagai pertanyaan dari pihak manapun terkait kondisi kehilangan yang terjadi,” kata Silvia.
Sering di masyarakat kita temui kata-kata “menguatkan” untuk mendukung orang yang sedang berduka. Misalnya, kalimat “kamu harus kuat, kamu harus baik-baik saja”. Padahal, menurut Silvia, pernyataan semacam itu dapat memberikan “efek berlawanan” dari apa yang dimaksud.
Memang tujuan orang yang mengucapkan itu baik, tetapi Silvia mengungkapkan bahwa pernyataan tersebut dapat bermakna bahwa orang yang sedang berduka tidak boleh merasakan apa yang mereka rasakan.
“Kita harus memberi mereka (perempuan yang mengalami stillbirth) ruang untuk berduka dan harus menormalkan proses ini, baik itu dari para tenaga medis, anggota keluarga, atau teman,” tegas Silvia.
Artikel Terkait: 8 Tips Merawat Kesehatan Mental Pasca Menghadapi Keguguran dan Stillbirth
4. Menangis Itu Wajar, Jangan Ditahan
Kehilangan anak adalah salah satu hal terburuk yang dapat terjadi pada manusia, kata Silvia.
“Tidak apa-apa untuk menangis, tidak apa-apa untuk berduka. Menangis dan berdukalah selama yang kamu butuhkan,” saran Silvia.
Ahli kesehatan mental itu menyoroti bahwa meskipun menangis adalah bagian yang sangat penting dari kesedihan, orang tua yang tidak menangis sama sekali tidak berarti mereka telah melupakan kesedihan mereka.
Dalam menghadapi kesedihan, Silvia mengatakan bahwa setidaknya harus ada satu orang yang dapat menjadi tempat berkeluh kesah dan mencurahkan segala isi hati bagi ibu yang mengalami stillbirth.
Idealnya, tempat tersebut adalah pasangan. Namun, tidak menutup kemungkinan itu juga bisa menjadi teman yang sangat dekat atau mungkin orangtua mereka sendiri.
Bagi mereka yang tidak memiliki sistem pendukung seperti itu, Silvia merekomendasikan untuk mempertimbangkan pilihan lain seperti berbicara dengan ahli kesehatan mental, misalnya konselor atau psikolog. Yang terpenting adalah kepada seseorang yang berpengalaman menangani stillbirth dan keguguran.
5. Tidak Hanya Ibu, Ayah Juga Butuh Dukungan
Berbeda dengan para ibu, para ayah tidak bisa terikat dan berhubungan “langsung” dengan janin yang ada di dalam kandungan. Namun, para ayah ini juga mengalami kesedihan dan perasaan tak berdaya yang luar biasa.
“Saat kehilangan ini terjadi, ada dua hal yang menimpa sang ayah,” kata Silvia.
“Mereka merasakan kehilangan bayinya, tapi kemudian mereka melihat pasangan mereka, istri mereka mengalami begitu banyak kesedihan dan rasa sakit. Dua hal ini membuat sang ayah merasa sangat tidak berdaya,” sambungnya.
Oleh karena itu, para suami berpikir bahwa mereka harus lebih kuat untuk istri mereka. Sehingga mereka sering mengabaikan perasaan sedih yang seharusnya tidak ditahan.
“Dan itu (menahan rasa sedih) belum tentu menjadi hal yang paling membantu karena mereka berdua berduka,” ungkap Silvia.
Jadi, dukungan untuk ayah juga diperlukan.
6. Jangan Takut Membicarakan Apa yang Terjadi
Setiap orang punya cara tersendiri dalam menghadapi masalah mereka masing-masing. Hal ini juga berlaku untuk cara orangtua yang berduka atas kehilangan bayi mereka.
Mengenai bagaimana teman dan keluarga dapat memberikan dukungan, Silvia mengatakan, “Jangan takut menyebutkan kata “bayi”, jangan takut menyebutkan apa yang terjadi. Hanya saja, ucapkanlah dengan cara yang lembut atau tidak terkesan menyakiti.”
Alih-alih mengatakan “Oh, saya pikir kamu sudah baik-baik saja”, katakanlah: “Bagaimana kabarmu, masih sering memikirkan apa yang terjadi?”
Untuk mendukung orangtua yang sedang berduka, Anda juga bisa sempatkan waktu untuk menelepon mereka. Bicaralah secara langsung, tidak hanya melalui pesan teks.
“Jangan takut berbicara langsung. ibu yang mengalami stillbirth biasanya hanya mendapat jutaan pesan, tetapi kemudian tidak ada yang benar-benar menelepon mereka dan memiliki percakapan dengan mereka,” ujar Silvia.
Meskipun ini memberikan kesempatan bagi orangtua untuk berbicara tentang bayi dan apa yang telah mereka alami, Silvia menekankan bahwa membicarakan stillbirth adalah “undangan”. Jadi, tidak boleh menjadi sesuatu yang dipaksakan kepada mereka.
7. Jangan Menghindari Apa yang Terjadi
Dalam pengalamannya bekerja dengan orangtua yang berduka karena mengalami stillbirth, Silvia tak memungkiri masih ada pasangan yang akhirnya enggan membicarakan hal yang menimpa mereka. Sehingga, antara sang suami dan istri seolah menjadi “berjarak”.
Silvia menyarankan agar para orangtua yang mengalami stillbirth tidak sepenuhnya menghindari hal itu. Ia mendorong agar pasangan yang mengalami stillbirth seharusnya kembali meluangkan waktu bersama untuk saling memberikan kekuatan.
Mereka bisa saja melakukan hal-hal sederhana, seperti berjalan-jalan bersama di malam hari atau di alam terbuka dengan suasana yang tenang.
“Atau bisa juga dengan menghabiskan waktu untuk dinner bersama di tempat yang tidak terlalu ramai,” lanjut Silvia.
Berdukacita adalah bagian dari proses hidup yang pasti dialami semua orang. Saat mengalaminya, setidaknya seseorang harus berdamai dengan diri sendiri untuk melewatinya dengan penuh keikhlasan.
Artikel Terkait: 7 Mitos dan Fakta Tentang Stillbirth yang Perlu Parents Ketahui
Itulah beberapa upaya yang dilakukan untuk mendukung ibu memulihkan mental setelah mengalami stillbirth. Jangan memendam apa yang dirasakan seorang diri, berbagilah kepada orang-orang terdekat yang bisa Bunda percaya, ya.
Baca Juga:
"Aku melahirkan anak pertama dengan kondisi bayi yang sudah tidak bernyawa," kenangnya.
Sebabkan Bayi Lahir Mati atau Stillbirth, Ini 5 Infeksi Kehamilan yang Perlu Diwaspadai
Sedang Berduka, Ini 7 Bentuk Dukungan untuk Ayah yang Baru Kehilangan Anaknya