Cukur rambut bayi sampai botak, haruskah dilakukan? Ini jawaban pakar
Banyak yang percaya mencukur rambut bayi hingga botak bisa membuat rambut semakin lebat. Benarkah?
Siapa di antara Parents yang masih sering mendapat petuah dari orang tua untuk cukur rambut bayi sampai botak?
Atau, memamg Parents sendiri yang percaya bahwa cukur rambut bayi memiliki banyak manfaat untuk si kecil?
Ternyata, tidak hanya di Indonesia saja yang memiliki kepercayaan bahwa cukur rambut bayi perlu dilakukan. Beberapa budaya di Negara Asia ternyata juga mewariskan hal sama.
Para orangtua, khususnya kaum ibu kerap memberikan nasihat agar hal ini penting dilakukan untuk membuat rambut bayi tumbuh lebih panjang dan lebih tebal.
Saya sendiri pernah mengalaminya. Tak lama setelah melahirkan, banyak yang memberikan nasihat agar saya cukur rambut bayi.
Artikel terkait : Manfaat mencukur rambut bayi
Cukur rambut bayi, sekadar mitos atau memang harus dilakukan?
Pertanyaan yang kemudian muncul, apakah apakah praktik budaya ini didukung sudah didukung dengan penelitian? Sehingga para pakar kesehatan menyarankan untuk melakukannya.
Jawabannya, tidak.
Penting untuk diketahui bahwa tekstur rambut bayi telah ditentukan secara genetik sejak lahir. Hal ini diungkapkan Leonica Kei, direktur dan ahli kejiwaan senior di Singapore Philip Kingsley Trichological Center. Katanya, bayi-bayi yang baru saja dilahirkan sebenarnya sudah memiliki semua folikel rambut yang akan mereka miliki.
Secara sederhana, folikel rambut merupakan kantong sel di bawah permukaan kulit kepala yang menghasilkan rambut. Ukuran folikel menentukan ketebalan rambut bayi Anda – semakin besar folikel, maka semakin tebal helai rambut.
Di sisi lain, jumlah folikel ini sebenarnya telah menentukan berapa banyak rambut yang akan dimiliki anak Anda. Semakin tinggi jumlah folikel, semakin banyak rambut yang mungkin terbentuk.
Mencukur, tentu saja, tidak mengubah folikel rambut yang berakar di kulit kepala bayi Anda. Ini berarti gen orangtua yang memengaruhi apakah rambut Anda tebal atau tipis.
Para ahli juga menyarankan, orangtua mungkin sebaiknya tidak perlu terburu-buru untuk mencukur kepala bayi, untuk menghindari risiko cedera.
“Kulit kepala bayi sangat lembut,” kata Kei. “Bagian atas kepalanya, yang disebut fontanel, sangat lembut karena tulang tengkoraknya belum sepenuhnya dirajut bersama.”
Sementara dihubungi theAsianparent Indonesia, dr. Meta Hanindita Sp.A juga menegaskan hal yang sama. Bahwa, dilihat dari kacamata medis sebenarnya tidak ada kewajiban yang mengharuskan orangtua untuk mencukur rambut anaknya.
“Potong rambut bayi itu nggak ada keharusan, kok, hanya saja untuk masyarakat kita, di Indonesia ini memang sudah jadi tradisi. Tapi kalau dari sisi medis, sebenarnya tidak diwajibkan.”
Mengapa rambut bayi Anda bisa terlihat berbeda pada awalnya?
Kei memaparkan bahwa alasan di balik mengapa tidak sedikit bayi yang lahir dengan rambut yang kurang indah dan bagus, sebenarnya dikarenakan rambut vellus yang memang pendek, halus dan berpigmen buruk. Lambat laun, rambut ini pun akan akan digantikan oleh rambut terminal yang subur dan matang.
Dikatakan oleh dr. Meta, biasanya rambut pertama bayi yang halus ini atau vellus, saat anak memasuki usia kira-kira 3 sampai 4 bulan akan rontok dengan sendirinya meskipun tidak dicukur.
Kekhawatiran umum lainnya yang dialami para orangtua adalah rambut yang tidak rata. Ada area yang terlihat tebal, ada juga yang terlihat tipis. Ternyata, kerontokan rambut bayi yang menjadi penyebab terjadinya kasus ini.
Dan hal ini merupakan kondisi yang sangat normal terjadi, bagian alami dari perkembangan bayi. kondisi botak ini bisa terjadi karena perubahan hormon dan bisa bertahan hingga 6 bulan.
Selain itu, para ahli juga mengatakan bahwa bayi yang sering kali menggosok bagian belakang kepala mereka ke arah tempat tidur bayi atau kasur sering kehilangan rambut pada area tersebut.
Oleh karenanya, biarkan saja pertumbuhan rambut anak bisa berjalan dengan alami. Sementara itu, nikmati saja prosesnya. Jika memang masih merasa ragu dan khawatir, tak ada salahnya untuk berkonsultasi dengan dokter.
Disadur dari artikel Jolene Hee, theAsianparent Singapura
Baca juga :